Search This Blog

20 October 2012

Sebuah Kisah

Hong Kong


Awal tahun 2010 akhir bulan Januari, ku jejakkan kembali kaki ini di negerinya sang kungfu master, Jacky Chan. Ketika memutuskan untuk pulang kampung pada tahun 2009 lalu, aku sudah tak ingin kembali lagi ke Hong Kong. Tapi karena persoalan yang datang bertubi-tubi menghampiri, akhirnya membawaku kembali ke negeri beton ini. Tak mudah mengambil keputusan waktu itu, antara iya dan tidak. Satu sisi aku ingin melihat dan mendampingi tumbuh kembang anakku. Namun, disisi lain aku juga butuh biaya hidup. Dan dari mana aku dapatkan biaya hidup kalau aku tidak ada pekerjaan mapan di Indonesia.

Singkat kata aku mendaftarkan diri lagi. Kali ini, seorang teman di Hong Kong membantuku melalui calling visa. Tak sampai sebulan aku mendapat panggilan terbang. Saat itu aku benar-benar bimbang antara berangkat dan tidak. Setelah aku pikir dengan masak dan minta pertimbangan sana sini, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat walau dengan berat hati. Sungguh perih bila mengingat aku yang tak bisa mendampingi tumbuh kembang anakku dimasa kanak-kanaknya. Tapi, sekali lagi apa boleh buat. Mungkin inilah jalanku. Dan inilah jalan yang aku pilih, menjadi buruh migran (kembali).

Masih aku ingat hari itu, kamis malam. Diiringi rintik hujan yang sejak pagi mengguyur bumi, aku berpamitan pada seluruh keluarga. Suasana haru biru oleh tangisan orang-orang yang kusayangi tak menyurutkan tekad. Dengan hati perih kulangkahkan kaki meninggalkan mereka. Sengaja aku tak menengok kebelakang lagi, demi menyembunyikan titik bening di sudut mata. Panggilan buah hatiku kian membuat hati ini teriris-iris. Sungguh aku tak ingin berpisah darinya. Namun, aku tak berdaya menolak takdir. Pergi meninggalkannya demi masa depannya juga. Namun dia belum mengerti. Kelak dikemudian hari, dia pasti mengerti mengapa aku pergi meninggalkannya. Sepanjang perjalanan menuju bandara malam itu, air mataku terus bergulir tanpa mampu ku bendung. Tak semenitpun aku terlelap.

Pagi yang basah ketika aku tiba di bandara Juanda Surabaya, hatiku masih bimbang. Rasanya berat melangkahkan kaki ini. Aku hanya bisa berdoa, semoga kali ini mendapat majikan yang baik hati dan paham tentang hak-hak buruh migran. Dan semoga aku bisa melalui semua rintangan dan harus kuat menjalaninya. Semua kulakukan demi keluargaku tercinta. Aku ingin membantu meringankan beban keluarga. Dan tak ada salahnya bila aku kembali bekerja di negeri beton ini.

Tiba di Bandara Chek Lap Kok Hong Kong, aku dijemput orang dari agency (aku pikir orang yang menjemputku juga pekerja migran sepertiku, yang dipekerjakan di agen. Dan dengan senang hati mereka mau bekerja di agen walaupun mereka tahu bahwa itu telah melanggar hukum perburuhan di Hong Kong). Dibawanya aku bersama dua orang teman yang satu penerbangan menuju agen. Sampai di agen hari sudah malam, karena kecapekan akupun tertidur tanpa sempat mandi. Aku menginap di agen sampai 2 hari karena majikanku tak kunjung menjemputku. Aku jadi semakin khawatir, jangan-jangan majikanku orang jahat, yang suka menelantarkan pembantunya. Pikiranku terus dihantui prasangka buruk.

Dihari ketiga orang suruhan agen mengantarkan aku ke rumah majikan. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku berdoa, semoga semua baik-baik saja. Setelah menempuh satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga ditempat tujuan. Di bawah sebuah apartemen yang tidak begitu elit, aku berdiri menunggu sang majikan datang menjemput. Dari sebuah taman muncul seorang wanita yang tersenyum padaku. Diakah orangnya? hatiku bertanya-tanya. Dan memang benar dialah orangnya. Serah terima antara agen dan majikan berlangsung. Detik itu juga aku resmi dibawa majikan.

Kali ini aku bekerja pada keluarga bermarga Lui. Aku merawat 2 orang anak. 1 laki-laki berumur 8 tahun dan 1 lagi perempuan berumur 13 tahun. Kedua majikanku bekerja, jadi akulah yang mengurus kedua anak mereka. Dari urusan sekecil apapun, majikan perempuan mempercayakannya kepadaku. Saat pertama kali bertemu dengan majikan perempuan, aku sudah menangkap kesan baik ada pada dirinya. Dia orangnya supel dan cekatan. Dia suka sekali mengajakku ngobrol membicarakan segala sesuatu. Kadang aku dianggapnya sebagai teman diskusinya sebatas kemampuanku berpikir. Atau boleh dibilang aku malah banyak belajar kepadanya. Dari setiap obrolan, nyonyaku selalu menyelipkan wejangan-wejangan atau pelajaran berharga yang bisa aku petik. Dia selalu bercerita tentang tradisi keluarga Tionghoa. Tentang obat-obatan herbal China yang diyakininya bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Ketika nyonya bercerita, aku dengan senang hati mendengarkannya. Kadang aku juga melemparkan beberapa pertanyakan kepadanya.

Dia sempat heran dan berkata,” baru kali ini, dari sekian pembantuku yang tertarik dengan cerita-cerita tentang tradisi Tionghoa”. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Karena aku memang benar-benar tertarik dengan kultur Tionghoa.

Keakraban keluarga majikanku ini, membuat aku merasa nyaman bekerja dengan mereka. Majikanku selalu terbuka dalam setiap hal. Tak jarang nyonya mencurahkan uneg-uneg-nya padaku. Dari sinilah aku banyak belajar tentang kehidupan dari keluarga ini. Tentang kesederhanaan yang selalu diterapkan keluarga Lui. Tentang bagaimana nyonya selalu menempatkan diri sebagai seorang ibu dan seorang istri yang baik untuk keluarganya. Nyonya tidak pernah menunjukkan sifat berkuasa seperti para majikanku terdahulu. Sebagai seorang istri, nyonya selalu melayani tuan dengan baik. Segala kebutuhan tuan, nyonyalah yang menyediakan. Aku hanya membantu bila dibutuhkan. Dan sebagai seorang ibu, sesibuk apapun nyonyaku selalu meluangkan waktu bagi anak-anaknya. Dia berusaha menjadi ibu yang selalu melindungi buah hatinya. Aku melihat nyonya memperlakukan anak-anaknya bagaikan seorang sahabat yang selalu ada kapanpun dibutuhkan. Walau kadang nyonya capek bekerja seharian tapi dia selalu menyempatkan diri untuk bermain-main dengan anak-anak. Seakan rasa capeknya hilang setelah melihat keceriaan buah hatinya.

Ya, itulah nyonyaku. Akan tetapi bukan berarti nyonya tak punya amarah. Sesekali nyonya juga marah bila menemukan sesuatu yang tidak berkenan di hatinya. Satu pelajaran berharga lagi, bila nyonya marah dan semarah apapun, nyonya tidak punya rasa dendam. Dan nyonya juga tidak pandang bulu, siapapun yang dianggapnya salah, maka nyonya akan memarahinya. Namun begitu, nyonya tak pernah berlarut-larut dikuasai emosi. Aku menganggapnya suatu kewajaran bila dia marah. Karena memang rasa marah dimiliki oleh siapapun. Dan selama ini emosi nyonya masih dalam tahap wajar. Dalam hal mendidik anak, nyonya tidak terlalu otoriter dan memaksakan kehendak pribadinya. Nyonya selalu mengikuti apa kemauan anak-anaknya selama itu mendidik dan positif. Dia tidak pernah mengekang.

Majikanku kali ini lebih demokratis daripada yang terdahulu. Ketika dia bertanya apa saja kegiatanku disaat libur dan aku menceritakan bahwa aku aktif disebuah organisasi kepenulisan, dia mendukung aku sepenuhnya. Bahkan, dia memfasilitasiku dengan mengizinkan aku memakai internet rumah. Aku sama sekali tak pernah mengira majikanku mengizinkan aku memiliki laptop. Tetapi pradugaku semula meleset jauh. Betapa aku sangat beruntung memiliki majikan sebaik ini. Disaat mereka berkumpul sepulang kerja, mereka tak lupa mengajakku bersama, berbagi cerita apa saja yang terjadi seharian. Kami bertukar cerita dan selalu mencari solusi ketika siapapun diantara kami yang menemui kesulitan. Majikanku selalu menasehati anak-anaknya dan aku untuk saling menghargai satu sama lain. Tak hentinya aku mengucapkan syukur telah menemukan majikan sebaik majikanku ini. Sang majikanku pun sangat taat terhadap peraturan pemerintah Hong Kong terkait dengan hukum perburuhan yang berlaku. Mereka tak pernah melanggar hak-hak ku sebagai pekerja. Bila mereka benar-benar membutuhkan tenagaku disaat hari liburku, maka mereka akan menggantikannya dikemudian hari. Mereka tak pernah mengambil keputusan sebelah pihak. Selalu mengikutsertakan aku bila itu memang menyangkut keberadaanku.

Kini 2 tahun telah berlalu. Suka duka telah aku lalui selama dua tahun di rumah majikanku ini. Dan kontrak kedua baru saja aku tanda tangani. Majikanku sudah cocok denganku dan aku pun begitu. Harapanku, semoga aku bisa menyelesaikan kontrak keduaku ini dengan baik dan lancar.



Fanling, Hong Kong

28 Desember 2010


No comments: