Search This Blog

24 August 2010

SASTRA DI KALANGAN BMI

Menjadi buruh migran bukanlah sebuah cita-cita. Dan bukan pula sebuah impian. Tapi ketika nasib berkata lain, apa boleh buat. Mau-tidak mau kita harus memilih, meski kita belum memahami apakah benar ini "nasib" yang harus dilakoni. Menjadi buruh migran adalah satu pilihan ketika himpitan ekonomi semakin mendesak. Krisis moneter yang melanda tanah air beberapa waktu silam juga menjadi alasan, setelah dirasa Indonesia tidak mampu lagi menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai.

Di situlah awal masyarakat kita lebih memilih menjadi buruh migran daripada menjadi pengangguran di negeri sendiri. Buruh migran atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) alias Pembantu Rumah Tangga (PRT) di negeri orang? Ya! Tapi seringkali orang meremehkan keberadaan buruh migran. Memandang sebelah mata, seakan buruh migran adalah kaum marginal strata rendah yang tak pantas dihargai. Begitukah? Masyarakat kita di Indonesia masih membeda-bedakan status sosial dalam lingkup masyarakat itu sendiri. Pertanyaannya, haruskah perbedaan sosial itu ada? Bukankah tujuan dalam bekerja itu sama yaitu uang?

Jika saja masyarakat kita mau berpandangan luas, berpikir positif, tentu tak perlu ada pembagian suatu golongan atau kelompok tertentu dalam masyarakat itu sendiri. Hidup berdampingan secara rukun, saling tolong menolong dan berpikir bahwa kita saling mebutuhkan serta saling mengisi kekurangan masing-masing, menselaraskan kehidupan dengan alam yang dapat menciptakan harmonisasi dan sinergi maka tak perlu ada pembagian golongan dalam bermasyarakat.

Dalam kehidupan yang kian hedonistis cara pandang yang seperti itu tentu saja sangat merugikan bagi kaum termarginalkan semisal buruh migran. Para pahlawan devisa selalu merasa tersingkir dan dianak tirikan oleh bangsa sendiri. Pemerintah Indonesia tidak terlalu tanggap dengan permasalahan buruh migran. Tidak juga memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para penghasil devisa itu. Selama ini pemerintah menutup mata dan telinga. Permasalahan bahkan bertambah kompleks.

Seandainya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai tidak mungkin rakyatnya berbondong-bondong menjadi buruh migran di negeri orang. Mengadu nasib demi keberlangsungan hidup. Himpitan ekonomi memaksa mereka pergi meninggalkan keluarga di Tanah Air. Salah satu negara tujuan buruh migran Indonesia (BMI) adalah Hong Kong yang notabene pekerjanya perempuan sebagai pembantu rumah tangga. Para perempuan perkasa itu membanting tulang demi keluarga tercinta. Menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga. Namun, jasa perempuan selama ini masih terabaikan. Dan saat perempuan mempersembahkan dirinya bekerja membanting tulang demi keluarga dengan menjadi buruh migran, Masihkah perempuan dianggap sebagai teman belakang atau pelengkap saja?

Menjadi buruh migran tidaklah semudah yang dibayangkan khalayak selama ini. Masyarakat kita selama ini telah terdoktrin bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan gampang yang menghasilkan uang jutaan. Namun, pernahkah terlintas dalam pikiran mereka bagaimana proses menjadi BMI? Dan bagaimana pula memerankan buruh migran di negeri yang tak pernah tidur ini? Bekerja keras di antara cucuran keringat, di bawah tindasan majikan, teraniaya dan hak-haknya yang terampas. Tekanan spikis dan fisik pun harus di terimanya. Sungguh bukanlah suatu hal yang mudah. Berat tapi harus dijalani demi keluarga.

Terlepas dari itu semua ada yang pantas diacungi jempol terhadap buruh migran, Hong kong khususnya. Euforia sastra melanda buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Belakangan banyak pecinta sastra di kalangan BMI Hong Kong mencoba ikut meramaikan karya sastra. Di antara waktu sempit yang dimiliki, mereka mencoba melahirkan karya-karya sastra. Semangat belajar sungguh luar biasa. Mereka mampu menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Hari libur adalah waktu yang tepat bagi mereka menambah wawasan ilmu dengan berorganisasi. Telah banyak organisasi-organisasi yang berdiri di Hong Kong yang bergerak dibidang sastra, teater, seni dan masih banyak lagi.

Tapi sayang, segala kegiatan positif BMI belum mendapat perhatian dari pemerintah. Suksesnya acara Festival Sastra Migran Indonesia (FSMI) yang berlangsung minggu (9/5) kemarin di Hou Tung Secondary School Hong Kong sebagai salah satu contoh kegiatan positif para BMI. Festival yang bertema "Berbudaya dan Berdaya dalam Sastra", dihadiri sekitar 200 peserta dan secara simbolis dibuka oleh Konsul Jendral Ferry Adamhar.

Acara tersebut digelar dalam rangka milad Forum Lingkar Pena (FLP) yang keenam. Dalam acara tersebut ditampilkan karya-karya BMI yang berpotensi. Dari pertunjukan Teater, seni tari, pembacaan puisi yang kesemuanya diperankan oleh para BMI Hong Kong, para perempuan -perempuan perkasa. Juga diadakan launching novel "Aura Biru Langit Hong Kong" yang merupakan karya tiga BMI Hong Kong. Selain itu juga diluncurkan antologi puisi "Luka Tanah Priok", yang ditulis 31 penulis (BMI dan mantan BMI). Walau sempat ada yang mencibir hasil karya para BMI Hong Kong tetapi itu tidak lantas menjatuhkan mental mereka dalam berkarya. Mereka tetap berkarya dalam segala keterbatasan waktu dan pengetahuan.

Para BMI menjadikan kritikan/cibiran itu sebagai lecut semangat untuk terus belajar seakan mereka tertantang untuk membuktikan bahwa "babu" juga bisa berkarya. Walau ada yang sempat meradang karena cibiran itu. Tapi mereka berhasil menyikapinya dengan bijaksana. Ini hanyalah beda jam terbang saja. Para perempuan perkasa ini berkarya bukan/tidak gila sanjungan, tetapi lebih karena mereka memang benar-benar mencintai sastra. Dan mereka ingin menghidupkan sastra di kalangan buruh migran dan bukan hidup dari karya sastra. Kalaupun ada yang menganggap karya BMI adalah karya "anak TK" itu sah-sah saja. Para BMI memang bukan datang dari kalangan yang "well educated" seperti mereka. Namun, apa ya harus seperti itu menyikapi karya seorang pemula? Bukankah ada baiknya mereka menularkan ilmunya. Sudah sepantasnya mereka membimbing "anak-anak TK" supaya menjadi mahasiswa berkwalitas yang andal. Itu hanyalah sebuah harapan dari para BMI.

Marilah BMI Hong Kong kita bangkit dari keterpurukan, jadikan hari kebangkitan Nasional (20/5) sebagai semangat untuk lebih maju. Alam dan pengalaman adalah guru kehidupan. Maka jangan berputus asa bila karya-karya kalian dicibir orang. Tak usah juga kalian kebakaran jenggot, toh kita tak punya jenggot bukan? mari kita sama-sama belajar. Jangan menyerah dengan keadaan. Bangkit, terus berkarya, tetap semangat!!

Dimuat di Berita Indonesia edisi 106, Juni 2010 Hong Kong
Oleh : Yany Wijaya Kusuma Penulis seorang BMI, aktif di Teater Angin Hong Kong