Search This Blog

04 July 2012

# 2 # Siapa Bilang Jadi TKW Itu Enak? (Diskriminasi)

Setelah lelah beraktivitas pada hari minggu [1/7] kemarin, aku dan teman-teman Teater Angin (TA) bermaksud mencari makan di sebuah restaurant Vietnam. Sambil jalan menuju restaurant, aku memotret sisa-sisa para demonstran warga lokal Hong Kong, ditemani Teh Imas. Sedangkan Lia dan Teh Noena berjalan di depan. Begitu masuk restaurant, sambutan pelayannya sangat tidak ramah. Mereka tahu karena kami hanya pembantu/Buruh Migran Indonesia (BMI). Kami tak begitu menghiraukannya dan segera mencari tempat. Di pojokan ada meja berkursi empat, pas! Di meja sudut itulah kami duduk. 


Setelah membolak-balik buku menu, kami pun memesan sesuai selera masing-masing. Agak lama juga menunggu pesanan datang. Kami melanjutkan diskusi yang terpenggal. Ketika tengah asyik berdiskusi, HP Lia berdering. Meme (begitu kami biasa memanggil Mega Vristian sebagai mbok-e TA) menanyakan di mana posisi anak-anak TA. Kami senang, tambah lagi satu orang pasti makin seru diskusinya. Begitu tiba di restaurant, Meme ga dapat tempat duduk, karena kursi pas untuk 4 orang. Aku mengalah, mencari tempat lain yang berdekatan. Kebetulan di belakangku ada seorang bule duduk sendirian dan ada kursi kosong di depannya. 


Meme menyuruhku duduk dengan bule itu, "Wis ndang Giz, kancanana bule-ne." Aku menoleh padanya, tersenyum dan sesuai kebiasaan sopan santun orang Hong Kong basa-basi bertanya,"Hi, are you alone? or waiting for someone?"
Dan dengan ramah Si Bule menyilakan aku duduk, dia bilang kursi itu kosong. Tak lupa berterima kasih, lalu aku duduk dengannya. Walau mejaku berdekatan dengan Meme, Teh Imas, Teh Noena dan Lia, aku tetap saja harus menolehkan kepala saat diajak ngobrol. Keasyikan ngobrol, aku lupa makananku. Tiba-tiba pelayan datang dan mengambil mangkok mie-ku yang belum habis ku makan. Aku tertegun tak bisa berkata apa-apa karena merasa aneh. Sesaat setelah aku sadar, sumpit yang aku pegang aku letakkan di meja dan aku berdiri. 
Aku bertanya pada pelayan, "Tim kai lei pun ngo ke wun mien keh? ngo mei sik yun wo." Teman-teman TA dengan sendirinya beraksi, membelaku.
Teh Imas dengan lantang, kembali bertanya,"Goi mei sik yun, tim kai lei pun goi ko wun mien keh? tim kai?". Hanya ada dua pelayan di restaurant itu, satu bertubuh gendut agak muda dan satunya bertubuh kurus, setengah tua. Pelayan tua itulah yang memindahkan mangkokku ke meja lain. Di meja kasir, terlihat dua pelayan itu berargumen, tapi entah apa yang mereka debatkan. 


Sambil menuding-nuding, pelayan tua itu berkata,"Lei em ho yi , jho hai ko to!"
Serentak kami bertanya,"Tim kai?"
"Karena kamu tidak boleh duduk bersama bule itu. Kamu mengganggunya dan kami tidak suka!"
"Mengganggu? dia tidak merasa terganggu, sebelum aku duduk, aku sudah permisi. Dan dengan senang hati dia mempersilakanku!"
Sepertinya Bule itu paham apa yang terjadi, dia ingin memberikan pembelaan, namun kami mengisyaratkan untuk diam saja. Teh Imas hilang kesabaran, lantang dia berkata,"POK KAI! Aku tahu kenapa kalian memperlakukan kami seperti ini, karena kami hanya buruh migran? Kalian pikir kami bodoh dan akan diam saja? tidak akan pernah kami makan di restaurant ini kembali, ini yang terakhir!"
Rasa laparku pun menguap seketika, ku tinggalkan duit di meja, Lia mengambilnya kemudian menuju kasir untuk membayar. Sebelum kami keluar, kami melihat bill-nya. HK$ 261. Lia memegang uang HK$ 270, maka seharusnya kami masih menerima kembalian HK$ 9. Namun, kami diabaikan begitu saja. Terjadi kericuhan lagi, kebetulan restaurant agak ramai. Banyak orang memperhatikan, tapi kami tidak peduli. Tetap berargumen, tapi lama-lama merasa jengah, kami pun keluar tanpa menunggu uang kembalian. Yang penting kami puas melampiaskan kekecewaan kami. Diskriminasi tidak boleh dibiarkan. Hanya ada satu kata LAWAN!!!




Note :
1. Tim kai lei pun ngo ke wun mien keh? ngo mei sik yun ke wo. = Kenapa kamu memindahkankan mangkok mie ku? aku belum selesai makan
2. Lei em ho yi , jho hai ko to! = Kamu tidak boleh duduk di situ!