Search This Blog

22 July 2012

Buruh Migran Indonesia Kreatif Di Hong Kong


Berbagai macam pernak pernik souvenir karya BMI-HK

"Tak ada jalan buntu bagi kreativitas. Apalagi ketika ia bertemu dengan ketekunan dan kemauan bekerja keras!"

Iseng! Keisengan tak selalu berbuntut negative. Sebuah keisengan bisa jadi membawa berkah. Dari keisengan tersebut mungkin bisa menjadi kreatifitas yang membanggakan. Dan jika ada istilah," iseng-iseng berhadiah," itulah yang terjadi pada dua orang Buruh Migran Indonesia (BMI), yang sedang mengais dolar di Hong Kong. Keisengan yang membawa berkah itu bermula dari obrolan santai ketika mereka bertemu di Victoria Park, di kawasan Causeway Bay.

Sebut saja Tri Winarni (29) dan Siti Marpu’ah (28), dua buruh migrant yang berbeda asal daerah ini, yang setiap hari minggu hanya menghabiskan waktu liburannya di Victoria Park. Suatu ketika ada seseorang yang membagi-bagikan brosur tentang tempat kursus pembuatan pernak pernik dari manik-manik. Merekapun tertarik dan mencari alamat yang tertera di brosur tersebut. Gayung bersambut, akhirnya mereka menemukan tempat kursus yang ada di kawasan Sham Shui Po, di sebuah gereja. Ongkosnya pun terbilang murah, hanya HKD 20 untuk sekali mengikuti kursus selama 2 jam waktu itu.

Akhirnya tak sampai 3 bulan, keduanya telah lihai membuat aneka pernak pernik. Semisal, gantungan kunci, tas tangan, boneka-boneka imut dan lucu pun tercipta dari tangan kreatif mereka.

“Kami sempat bingung setelah kursus, bagaimana caranya mengembangkan ilmu yang telah kami dapat? Hingga suatu hari kami kembali menemukan titik terang menuju ambang kesuksesan. Belum puas dengan ilmu yang kami peroleh, kamipun mengikuti seminar entrepreneur dari Universitas Ciputra yang dihelat oleh KJRI Hong Kong dalam rangka exit program untuk BMI,” jelas Tri atau yang akrab disapa Kutrix ini.

Pucuk dicinta ulam tiba. Setelah mengikuti seminar tersebut, mereka tertantang untuk merealisasikan ide-ide yang telah ada selama ini. Dengan tekad yang kuat dan hanya bermodalkan uang sebesar HKD 200 hasil patungan per orang, kedua BMI ini nekad memulai usaha. Karena dorongan keinginan untuk mandiri, mulailah mereka merangkai aneka manik-manik. Pertama yang mereka kerjakan hanya membuat bross dan gantungan kunci. Setelah terkumpul beberapa banyak, mereka mulai mencari informasi bagaimana cara memasarkan kreasi hasil olah tangan mereka. Sampai suatu hari, ketika salah satu organisasi di Hong Kong mengadakan bazaar, merekapun mendaftarkan diri. Dari sinilah kawan-kawan BMI yang lain mulai mengenal karya-karya cantik mereka. Dan keuntungannya pun bisa dibilang lumayan untuk permulaan sebuah usaha. Dengan keuntungan yang didapat tersebut, semakin bertambahlah modal mereka. Dan semakin membuka peluang wirausaha mereka kian berkembang.

Berbagi Ilmu
Untuk memperluas dan memperkenalkan usahanya yang sudah mulai jalan, kedua BMI inipun kemudian membuka kursus bagi yang mau belajar bersama. Dan kemudian mereka menggunakan " Friend's Souvenir" untuk usaha yang tengah mereka tekuni. Dengan peralatan seadanya dan tempat di lapangan terbuka, tak menyurutkan niat mereka untuk tetap berbagi dengan kawan sesama BMI. Setiap minggu, kira-kira sekitar 10 orang BMI yang bergabung menimba ilmu. Setiap peserta hanya dibebani biaya $ 40 untuk sekali pertemuan/kursus dan bahan manik-manik telah disediakan.

“Jadi untuk satu hasil karya tangan peserta, itu sudah menjadi hak milik mereka. Kalau mereka masih ingin menambah/membuat souvenir yang lain, peserta harus membayar lagi $ 40. Peserta boleh membawa pulang bahan manik-manik untuk dikerjakan disela kesibukan kerja di rumah majikan,” terang Siti Marfu’ah BMI asal Ponorogo ini.

Tak jarang, memang ada peserta yang membawa pulang bahan manik-manik untuk dikerjakan di rumah majikan. Karena mungkin saat mengikuti kursus di hari minggu, mereka tak cukup waktu untuk menyelesaikannya sehingga mereka bawa pulang. Dan ketika mereka menemui kesulitan dalam mengerjakan, mereka boleh minta bimbingan kembali minggu depannya.

Animo BMI
“Sebenarnya banyak yang berminat mengikuti kursus ini mbak, tapi terkadang kami terkendala waktu. Banyak yang harus dikerjakan jika hari minggu seperti ini. Rasanya waktu terasa cepat sekali berputar,” ujar Kutrix sambil sesekali membimbing peserta yang tampak kesulitan.

“Mereka begitu antusias belajar dan ingin mengubah nasib menjadi lebih baik dari sekarang, karena tak selamanya kita bekerja menjadi pembantu di luar negeri kan mbak?” sambung Siti Marfu’ah. Karena tekad untuk menjadi lebih baik itulah yang memotivasi mereka gigih belajar dan berusaha mengembangkan wirausaha kecil ini.

Wirausaha kedua BMI ini rupanya telah dilirik pengusaha di Jakarta dengan memesan beberapa pernak pernik untuk dipasarkan di Indonesia. Bahkan ketika mengikuti bazaar yang di selenggarakan sebuah organisasi di Hong Kong, keduanya sempat bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Agum Gumelar dan seorang tokoh bisnis di jagad kosmetika, Martha Tilaar.

“Beliau-beliau ini tertarik dan membeli beberapa souvenir kami, untuk oleh-oleh rekan-rekannya yang di Indonesia. Kemudian beliau juga berpesan, jangan lama-lama merantau di negeri orang. Selagi masih di Hong Kong, tuntutlah ilmu untuk bekal kelak jika kembali ke tanah air. Beliau juga bilang punya niat untuk mendidik atau memberikan pelatihan pada usaha kelas kecil hingga menengah,” jelas Kutrix BMI asal Trenggalek ini yang di amini oleh rekannya.

Keduanya kian bersemangat membangun dan terus berusaha bagaimana caranya menjadi pengusaha sukses. Tak surut langkah, walau masih terseok-seok dengan usaha kecil ini. Mereka selalu optimis bahwa nasib ada di tangan kita sendiri. Dari hari ke hari usaha kedua BMI ini kian maju pesat, peserta semakin banyak setiap minggunya. Order souvenir kreasi mereka pun terus meningkat.

Karena tempatnya di lapangan terbuka (Victoria Park), dan ramai lalu lalang orang yang berseliweran, tak jarang beberapa BMI yang tertarik dengan kegiatan ini. Salah satu BMI yang kebetulan lewat adalah Sugiarti (20), begitu antusias untuk bergabung. Dia langsung daftar dan langsung juga belajar dengan yang lainnya. Ternyata, di lapangan terbuka lebih menguntungkan untuk menarik minat kawan-kawan yang lainnya. Karena tidak usah menyebar brosur ataupun iklan. Jadi begitu ada yang tertarik, bisa langsung gabung.

“Silahkan siapa saja yang mau bergabung, kami tunggu. Bisa menghubungi, Siti Marfu’ah (51775358) atau Tri Winarni (61435237). Kami siap berbagi ilmu dengan kawan-kawan semua,” ujar Siti diakhir percakapan sambil tersenyum.

Ayo BMI Hong Kong, jangan takut untuk memulai usaha. Berwirausaha tidak harus bermodal jutaan. Yang terpenting tekad dan keberanian kita. Kedua BMI ini telah membuktikan. Kalau mereka bisa, kenapa kamu tidak? Tunjukkan pada dunia bahwa KAMU BISA!!!
Mereka yang kreatif dan inovatif

Ketika Sumiati Harus Melunasi Utang Temannya #Pelajaran Buat BMI-HK#


Awalnya, setiap kali bertemu dengannya, kami hanya saling melempar senyum. Karena kami memang belum kenal. Yang ku tahu, dia selalu mengantarkan makanan khas Indonesia untuk dititipkan di toko Indonesia  di kawasan Ma On Shan. Beberapa kali aku membeli makanan hasil masakannya. Terasa enak dan pas di lidah. Ketika suatu hari aku bertemu lagi dengannya, aku katakan bahwa masakannya lumayan enak.

"Masa sih mbak? kalau begitu beli tiap hari ya, biar penghasilanku bertambah," ujarnya. Lalu  kami ngobrol sejenak. Usut punya usut ternyata ibu dua anak ini tidak sengaja melakukan pekerjaan ilegal menurut peraturan perburuhan di Hong Kong. Dia berjualan makanan, walau dengan cara menitipkannya di beberapa toko Indonesia sekedar untuk menambah penghasilan karena kepepet.

Sumiati (bukan nama sebenarnya) seorang Buruh Migran Indonesia yang telah bekerja di Hong Kong selama hampir 4 tahun ini, menceritakan bahwa selama bekerja di Hong Kong,  gajinya habis buat membayar hutang-hutang pada dua buah perusahaan jasa peminjaman uang sekaligus.

"Aku ditipu teman baikku. Waktu itu dia datang kepadaku dan meminta tolong mencarikan pinjaman uang untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit keras di Indonesia," jelasnya. "Aku butuh uang 50 juta, tolong aku ya Mia," pinta teman baiknya sewaktu di PT  itu memohon dengan mimik yang memelas.

Karena merasa terharu dan kasihan pada Yuni (nama samaran) teman baiknya itu maka Sumiati pun berusaha mencarikan pinjaman kepada teman-temannya yang lain. Tapi uang 50 juta tidaklah sedikit. Tentu saja di antara teman-temannya tidak ada yang sanggup meminjami. Dan itu memang tidak mungkin. Akhirnya Sumiati menyerah dan mengatakan pada Yuni bahwa dia tidak bisa membantu mencarikan pinjaman.

Pada kesempatan lain Yuni, yang juga berprofesi sebagai buruh migran mengusulkan untuk meminjam uang pada perusahaan jasa financial dan Sumiati pun menyetujuinya dengan catatan dia hanya sebagai saksi dan diizinkan oleh majikannya. Sumiati yang bekerja pada keluarga Kong Mun Fai dan bertugas merawat seorang kakek yang lumpuh ini pun meminta izin pada majikannya dan kebetulan majikan dia baik hati. Izin didapat oleh Buruh Migran asal Sragen, Jawa tengah ini.

"Kebetulan waktu itu semua urusan berjalan dengan lancar dan pinjaman bisa dengan mulus didapat," terang Sumiati yang ternyata single parent ini. Dan setelah proses pinjam meminjam itu lambat laun Yuni susah di hubungi. Sebulan, dua bulan Yuni menghilang dari peredaran. Sampai bulan ketiga setelah transaksi pinjaman itu Sumiati di hubungi oleh petugas jasa financial, mereka menagih pembayaran cicilan hutang pada Sumiati. Perempuan 34 tahun ini hanya bisa melongo dan heran. "Kok bisa aku yang ditagih?" pikirnya.

Setelah petugas itu menjelaskan bahwa pihak pertama tidak bisa dihubungi dan telah jatuh tempo maka pihak kedua yang harus bertanggung jawab. Seketika itu juga Sumiati lemas tak berdaya. Dia baru tersadar kalau telah tertipu. Sumiati hanya bisa meneteskan air mata, menyesali kejadian ini. Nasi telah menjadi bubur.

Janda yang malang ini pun menceritakan nasib yang menimpanya kepada sang majikan. Sang majikan pun kaget. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya berpesan pada Sumiati untuk berhati-hati dalam memilih teman. Jangan mengatasnamakan setia kawan tapi akhirnya menjadi korban. Beruntung Sumiati tak di terminate oleh majikannya. Malah, Sumiati dianjurkan masak makanan Indonesia untuk dijual/dititipkan ke toko Indonesia di sekitar rumah. Menurut majikannya, Sumiati memang pandai memasak. Dan karena juga dia punya banyak waktu senggang. Praktis, ini menjadi solusi. Tapi tetap harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya, sesuai pesan majikannya. Sumiati pun menyanggupi.      

Mulailah Sumiati melakukan aktifitas ilegal ini. Ya, semua itu terpaksa dilakukannya demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya di Indonesia. Sumiati berharap tidak ada Sumiati lainnya di kemudian hari. Dan juga berpesan untuk selalu berhati-hati dalam berteman dengan orang sekitar kita. Karena, kawan pun bisa berkhianat.