Search This Blog

23 December 2011

Untukmu Yang Di sana


Dalam pekat malam bayanganmu selalu hadir
Menjelma bersama semilir angin yang sejuk membelai
Aku merasakan damainya dekapmu
Lembutnya belaian tangan kasihmu

Dalam pekat malam bayanganmu selalu hadir
Mengajakku kembali mengenang tentangmu
Tentang kasihmu yang tulus  
Yang belum sempat terbalas olehku

Malam ini dadaku sesak oleh rasa rindu
Rindu ingin bertemu
Hingga mataku sembab tanpa terasa
Kehilanganmu teramat menyakitkan

Kutatap langit malam yang bertaburan bintang
Ku biaskan rasa rindu ini pada langit
Berharap kerlip bintang yang sama berpendar
Seperti pendar bintang di atas rumah kita dulu

Bila mungkin, malam ini aku ingin memberimu sekuntum mawar
Walau pun hanya meletakkan di batu nisanmu
Aku ingin mengucapkan selamat hari ibu
Aku akan mengenangmu hingga akhir hayatku

Terima kasih ibu….
Maafkan anakmu….

02 December 2011

Kalau memang harus menangis, menangislah....

Suatu ketika, adikku mempostingkan pesannya di dinding Facebook-ku. "Mbak, telpon ke rumah...." begitu pesannya. Setengah jam kemudian, baru aku tau pesan itu. Tanpa menunggu, aku langsung telpon karena aku yakin pasti ada sesuatu yang penting.

"Ada apa?" tanyaku begitu telpon diangkat.

Ku dengar isak di seberang sana. Makin penasaran, ku ulangi pertanyaanku, "ada apa?"
"Aku ga betah di rumah!" jawabnya di antara tangisnya.
"Lho? ada apa ta ndhuk?"
"Aku sakit hati mbak!"
"Dengan? putus cinta lagi?" tebakku.
"Bukan!"
"Trus?"
"Pokok e aku ora betah!"

Lhadalah, kalau sudah begitu aku hanya bisa nuturi. Aku mengerti, dia masih terlalu muda untuk menghadapi situasi yang tidak pernah dia duga. Aku tau dan bisa merasakan apa yang dia rasa. Tertekan!
Sepeninggalan ibu, aku dan dia memang seperti anak ayam kehilangan induk. Aku mengerti. Jangankan dia yang masih muda, aku yang sudah tua ini saja sik mbok-mbok en je.


"Memang abuot rasane. Tapi, harus bagaimana lagi. Hidup harus tetap berjalan, tak mungkin kita meratap terus-terusan. Belajarlah dewasa dan mandiri. Aku hanya bisa memantaumu dari jauh. Tegarlah! Kalau kamu memang sudah ndak kuat dan ingin menangis, menangislah....."

Tersenyumlah ndhuk.....
Suatu saat, kita pasti bisa bersama dan berkumpul kembali....

...Akibat Usil....

Semalam, tanganku terlalu usil, klik sana klik sini. Walhasil, ter-remove semua (ih, masih tersisa satu ding..) tulisan di blog ini. Getun? pastinya. Sumpah Indonesia raya aku menyesal! Sampai pagi tiba, kepalaku penuh terisi pertanyaan "kenapa dan mengapa?"
Tapi ndak seharusnya getun itu, walau nasi telah berubah menjadi bubur. Wong bubur aja kalau diolah lagi dan dikasihh ini itu tambah huenak kok, ya toh?

"Duh!...piye to jane mau bengi kuwi critane?"

Jujur, aku sendiri lupa (sebegitu pikunnya kah aku?). Yang ku ingat, dengan sedikit gusar aku menghapus apa-apa yang tertulis di sini. Jangan tanya "kenapa" karena aku sendiri ga tau jawabannya. (Bego ya? hi hi..)

Yo wis ra pa-pa lah....nulis maning bae, daripada pusing. Tapi, kenangan itu....terlalu indah untuk dilupakan namun terlalu sakit untuk diingat juga.

Walah....embuh lah...

01 December 2011

....Ndak Ahik Blas Ih...

Desember
Awal bulan angin kencang bertiup
Hawa dingin menyergap

Wahai angin
Sampaikan salam rinduku padanya
Di sini hatiku riuh berbicara
Aku rindu padanya

30 November 2011

Rindu #Simbok#

Tuhan...
Aku rindu ibu
Kapan bisa bertemu

Tuhan...
Aku rindu ingin bertemu dengan-Mu
Kapan tiba waktuku

28 November 2011

Nyonya...Izinkan Aku Pulang...


Aku menengok jam dinding, ketika baru saja aku menyelesaikan pekerjaan terakhirku, mengepel lantai. Jam 10 malam, oh, sudah larut malam rupanya. Setelah benar-benar beres, bergegas aku menuju kamar untuk sejenak melepas penat. Saat berada di kamar sendirian, pikiranku mengembara pulang ke rumah. Serasa jiwaku ada di sana. Membayangkan betapa Ponorogo ramai dengan hiruk pikuknya manusia. Menjelang perayaan grebeg suro, Ponorogo selalu penuh sesak. Perayaan grebeg suro yang memang sudah menjadi tradisi dan berbagai ritual digelar di kota itu. Untuk tahun ini, konon katanya memakan biaya yang tidak sedikit. Ada yang bilang tentang kisaran biaya untuk perayaan grebeg suro kali ini yaitu 1,2 Milyar. Wow, angka yang fantastis menurutku. Ah, entahlah…toh bukan urusanku. Aku hanya kangen dengan kota kelahiranku itu dan keluargaku tentu saja.

Sungguh! aku ingin pulang saat ini. Begitu asyiknya aku dengan pengembaraanku, sampai aku tak menyadari kehadiran momonganku yang kecil. Aku terkejut saat dia tiba-tiba memelukku dan berkata,”Cece…kamu jangan pulang ya,” pintanya tanpa memandangku. Aku melirik bocah ini sekilas. Dengan wajah innocent-nya, dia mampu meluruhkan hatiku.

“Tapi aku ingin pulang untuk menengok keluargaku,” jawabku kemudian.

“Aku ga mau kamu tinggal, aku ingin kamu tetap di sini, mengantar jemput aku sekolah, bermain bersama dan selalu bersama,” ujarnya memohon.

Aku diam dan membiarkan dia bermain-main di ranjangku. Rasanya ada berton-ton beban di kepalaku. Antara rumah dan tanggung jawab pekerjaanku. Seandainya aku punya sayap, ah…aku selalu berandai-andai. Ku raih kotak ajaib dan menyalakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai tenggelam dengan duniaku sendiri.

Tiba-tiba sailo (momonganku) berteriak nyaring di sampingku,” mamiiiiiiii…….”
Tergopoh-gopoh nyonya menyerobot masuk ke kamarku yang pintunya tertutup separuh. Melongok kami berdua yang nangkring di ranjang. Aku asyik dengan kotak ajaibku dan sailo asyik dengan mainannya. Aku menoleh ke sailo lalu beralih ke nyonya yang berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.

“Ada apa?” tanyanya sambil memandangi kami berdua bergantian.

“Mami, tolong bilang sama cece, jangan pulang sekarang,” jawab sailo.
Nyonya memandangku dan beranjak duduk di sampingku, lalu hati-hati dia berkata,”Yani, aku tau kamu sudah merindukan kampung halamanmu sana. Aku tahu betapa kamu merindukan putrimu dan aku tahu betapa sulitnya kamu memendam semua rasa rindu itu. Aku bisa merasakan dan aku mengerti.”

“Jadi aku boleh pulang?” sergapku penuh harap.

“Bukan aku tak mengizinkanmu pulang bertemu keluargamu, bukan pula aku tak percaya padamu, aku percaya kamu pasti kembali. Tetapi, mengertilah. Aku mohon padamu, aku masih belum bisa mengizinkanmu pulang dalam waktu dekat ini. Kamu lihat sendiri kan, suamiku baru saja pindah kerja ke Macau dan itu artinya kita, aku dan kamu harus menjaga rumah dan anak-anakku. Aku tak sanggup kamu tinggal sendiri. Bayangkan, aku akan kewalahan mengurus mereka berdua sementara aku sendiri juga harus bekerja. Aku mohon pengertianmu."

“Nyonya…aku ingin menengok anakku, aku ingin tahu keadaan rumahku sepeninggalan ibuku. Aku ingin tahu di mana makam ibuku. Kamu juga tahu saat aku mendapat kabar kepergian ibuku. Aku sangat kehilangan, terpuruk dan sampai pekerjaanku pun amburadul waktu itu. Betapa durhakanya aku kalau sampai saat ini aku belum tahu di mana makam ibuku. Saat beliau sakit pun aku tak bisa mendampinginya. Hingga ajal menjemputnya, aku tetap tak ada di sampingnya,” cerocosku tak tertahankan di antara isakku.

“Yani, aku tahu apa yang kamu rasakan, tapi apa boleh buat? Aku tahu ibumu adalah spirit hidupmu. Beliaulah yang selalu menyemangatimu tiada henti, iya kan? Aku bisa merasakan semua itu, karena aku juga pernah kehilangan ibu. Sebenarnya aku pun tak ingin melakukan ini padamu. Aku sangat bersedih tak bisa mengizinkanmu pulang. Percayalah kami semua sayang padamu dan keluargamu. Kami berdoa untuk kebaikan dan kesehatan keluargamu di kampung halaman sana. Bila saatnya tiba nanti, puaskanlah bercengkerama dengan mereka. Tapi sekali lagi aku mohon maaf, aku tak bisa mengizinkanmu dalam waktu dekat ini,” nyonya masih saja berusaha membujukku.

“Nyonya, aku pulang hanya sebentar, hanya satu bulan. Dan itu tak sebanding jika aku harus meninggalkan keluargaku selama 2 tahun. Selama ini aku selalu berusaha mengabulkan permintaanmu dan menuruti semua keinginanmu bukan semata demi uang, tapi karena tanggung jawab pekerjaan yang kau bebankan padaku. Dan kini aku punya satu keinginan. Please...izinkan aku pulang.”

Nyonya mendesah berat, aku tahu dia pun bingung. Antara iya dan tidak. Kami tenggelam dengan perasaan masing-masing. Sementara momonganku tetap dalam pangkuanku dan memelukku dengan erat. Seakan tak mau berpisah denganku. Setelah terdiam beberapa saat, nyonya meraih sailo dari pangkuanku dan beranjak keluar. Sebelum benar-benar menutup pintu nyonya kembali berkata,” Sudahlah, malam telah larut. Kamu mandi dan istirahat. Jangan terlalu banyak pikiran dulu. Kita bicarakan lagi lain kali. Ok?”

Sepeninggalan nyonya, aku pun termenung sendiri di kamar. Dan rasa rindu akan kampung halamanku, kian membuat sesak nafasku. Kalau sudah begitu, apa yang bisa aku lakukan selain meneteskan air mata. Dan ini konsekuensi yang harus aku terima. Untuk pulang ke rumah sendiri saja begitu sulitnya. Oh Tuhan, aku ingin pulang, meski hanya sejenak....


Fanling, 26 November 2011