Search This Blog

09 March 2012

Nasib PAHLAWAN Devisa dan OPTIMALISASI Peran Pemerintah Daerah.


Buruh Migran Indonesia di Hong Kong
Memutuskan menjadi buruh migran bukanlah sebuah pilihan yang mudah di tengah tingginya angka pengangguran di Tanah Air. Bisa dipastikan buruh migran bukanlah sebuah cita-cita yang diimpikan ketika masih duduk di bangku sekolah. Tekanan  ekonomi telah memaksa mereka menjatuhkan pilihan untuk menjadi buruh migran dan pergi meninggalkan keluarga di Tanah Air. Seandainya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, tidak mungkin rakyatnya berbondong-bondong menjadi buruh migran di negeri orang, mengadu nasib demi keberlangsungan hidup.

Minimnya lowongan pekerjaan dengan gaji yang memadai memang menjadi  persoalan klasik yang tak pernah menemukan solusi dari Pemerintah Indonesia. Dari tahun ke tahun angka pengangguran semakin meningkat tajam. Merantau menjadi buruh migran menjadi salah satu dampak dari ketiadaan lapangan kerja di dalam negeri. Akan tetapi, mengapa setelah rakyat Indonesia menjadi buruh migrant, pemerintah terkesan memarginalkan kaum buruh? 

Bahkan meremehkan keberadaan kaum buruh migran yang biasa disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW), Pembantu Rumah Tangga (PRT), Buruh Migran Indonesia (BMI), Tenaga Kerja Indonesia (TKI), babu, kuli atau apalah. Seakan kaum buruh tak lebih dari sekelompok kaum marginal strata rendah yang tak pantas dihargai. Begitukah?

Pandangan itu tak lepas dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih gemar mengelompokkan suatu golongan, membeda-bedakan status sosial dalam lingkup kehidupan masyarakat di sekitarnya. Tentu saja ini sangat ironis. Apalagi bila melihat persoalan kebutuhan utama hidup manusia dan perjuangan perbaikan ekonomi (bekerja) tidak bisa dikhususkan hanya bagi atau dengan status tertentu. Persoalan pemenuhan kebutuhan utama alias bekerja dan persoalannya tidak cukup pada perbedaan status sosial. Sebab, apa pun itu, tujuan bekerja setiap orang adalah sama yaitu mencari penghidupan. Pekerjaan hanyalah status sosial dan yang mengerjakan sama yaitu manusia.

Tidak Mudah
Bukan perkara mudah ketika memutuskan untuk bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. Banyak hal yang harus dipikirkan. Karena bagaimanapun situasi, lingkungan hidup dan budaya pasti sangatlah berbeda antara negara asal dan negara tujuan. Di satu sisi menjadi buruh migran adalah solusi untuk mengangkat derajat ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, terutama keluarga. 

Melihat kompleksitas menjadi buruh migran, di sini seharusnya pemerintah justru berterima kasih kepada para buruh migran dan bukan mengucilkannya bahkan mengabaikannya. Mengapa berterima kasih?  Karena dengan adanya warga yang memutuskan menjadi buruh migran, berarti Pemerintah telah diuntungkan karena ini bisa mengurangi angka pengangguran di daerahnya. Dan tentu saja juga meningkatkan pendapatan pemerintah daerah setempat asal BMI, melalui kiriman uang yang disampaikan ke keluarganya di kampung halaman. Tak seharusnya masyarakat membeda-bedakan status sosial berdasarkan pekerjaan.

Haruskah perbedaan itu ada? Bukankah perbedaan itu indah? Jika saja masyarakat kita mau berpandangan luas, berpikir positif, tentu tak perlu ada pembagian suatu golongan atau kelompok tertentu dalam masyarakat itu sendiri. Hidup berdampingan secara rukun, saling tolong-menolong dan berpikir bahwa kita saling membutuhkan serta saling mengisi kekurangan masing-masing, menselaraskan kehidupan dengan alam yang dapat menciptakan harmonisasi dan sinergi maka tak perlu ada pembagian golongan dalam bermasyarakat. Namun selama ini masyarakat terlalu egois untuk mengakui perbedaan.

Dalam kehidupan yang kian hedonistis cara pandang yang seperti itu tentu saja sangat merugikan bagi kaum termarginalkan salah satunya buruh migran. Gelar pahlawan devisa yang diberikan pemerintah hanyalah omong kosong. Kenapa sebagai pahlawan devisa (jika memang dianggap pahlawan) tersingkir dan dianaktirikan oleh bangsa sendiri? Pemerintah Indonesia tidak terlalu tanggap dengan permasalahan buruh migran. Tidak juga memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para penghasil devisa itu.

Tak Cukup Bekal 
Pelatihan yang diberikan selama di penampungan tak cukup untuk membekali para calon BMI. Minimnya fasilitas yang disediakan di penampungan dan dibatasinya ruang gerak bagi para calon BMI , tidak mendukung calon BMI untuk belajar lebih banyak tentang tata cara dan adat istiadat negara tujuan. Pemerintah kurang peka terhadap apa saja yang dibutuhkan para calon buruh migran. Dan terkesan membiarkan warga negaranya yang memutuskan bekerja di luar negeri tanpa bekal yang memadai. Para buruh migran tidak melulu harus belajar tata cara pelaksana rumah tangga. Kalau pun ada pembekalan, itu juga sangat terbatas malah terkesan seadanya. 

Mengapa pemerintah tidak mensosialisasikan bagaimana budaya negara tujuan? Dan harus kemana bila terjadi sesuatu pada buruh migran setelah bekerja di negara tujuan? Perwakilan pemerintah di negara tujuan pun tidak cukup membantu. Karena perwakilan pemerintah di negara tujuan jarang berpihak kepada BMI.  Banyak buruh migran di Hong Kong (yang baru datang khususnya), yang tidak tau kemana harus mengadukan masalah yang menimpanya. Buruh migran justru meminta tolong kepada Labour departement atau non goverment organisation. Pertanyaannya, Mengapa buruh migran lebih percaya NGO? kemana pemerintah selama ini?

Pemerintah Indonesia begitu teliti saat menghitung jumlah remittance yang dikirim buruh migran hingga digit terkecil sekalipun. Selama ini pemerintah menutup mata dan telinga. Permasalahan bahkan bertambah kompleks.  Apakah itu timbal balik yang diberikan negara? Diakui atau tidak, buruh migran adalah penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dan para buruh itu yang notabene hanya lulusan SMP atau SMA telah melakukan sesuatu untuk negara, pantaskah pemerintah menelantarkan buruh migran? Karena siapapun itu, semua rakyat Indonesia mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Indonesia untuk mendapat perlindungan.

Menjadi buruh migran tidaklah semudah yang dibayangkan khalayak selama ini. Bekerja di negeri beton  (Hong Kong), tentu ada tantangan tersendiri. Ritme kerja yang serba teratur dan serba cepat, juga menuntut BMI untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja. Dan ini sangat kontras dengan keadaan di Indonesia yang serba santai. Pemerintahan pun terkesan lamban dalam melayani kebutuhan masyarakat. Banyak pejabat yang hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada harus mengabdikan diri kepada masyarakat. Maka, muncullah masalah-masalah baru di pemerintahan.

Semakin banyaknya masalah yang terjadi di Tanah Air semakin pula masalah itu tidak terselesaikan dengan tuntas. Bahkan, semakin carut marut, sehingga masalah ketenaga kerjaanpun terabaikan. Rasanya tidak muluk-muluk kalau BMI menuntut perlindungan kerja yang jelas. Aturan-aturan yang tertera selama ini hanya tertuang dalam selembar Surat Keputusan (SK), tanpa terealisasi dengan baik. Akan tetapi, bagaimanapun BMI punya hak untuk tetap memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.

Masyarakat kita selama ini telah terdoktrin bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan gampang yang menghasilkan uang jutaan. Namun, pernahkah terlintas dalam pikiran mereka bagaimana proses menjadi BMI? Dan bagaimana pula memerankan buruh, di negeri orang berbeda budaya? Berada jauh dari sanak keluarga, bekerja keras di antara cucuran keringat, di bawah tindasan majikan, teraniaya dan hak-haknya yang terampas. Tekanan psikis dan fisik pun harus di terimanya. Sungguh bukanlah suatu hal yang mudah. Hong Kong dari segi financial boleh diacungi jempol tetapi sisi kehidupannya yang keras membuat sesak nafas hingga tak adanya waktu buat diri sendiri. Bahkan jatah waktu tidurpun terenggut paksa.

Salah Sistem 
Banyaknya kasus penganiayaan terhadap buruh migran belakangan ini, tak lepas dari salahnya sistem perekrutan, dokumentasi dan pelatihan calon BMI yang akan dikirim ke luar negeri. Pemalsuan dokumen yang terjadi sejak di daerah asal BMI, akan menjadi masalah di kemudian hari. Bila terjadi sesuatu pada BMI, maka akan sulit mengidentifikasi yang bersangkutan. Keterbatasan informasi dan peran aktif pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor seakan-akan menjadi dewa penolong mereka.

Sponsor atau perusahaan jasa tenaga kerja indonesia (PJTKI), berkeliaran mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang menggiurkan tanpa disertai dengan informasi yang jelas. Mereka bekerja demi mengeruk keuntungan pribadi. Maka, tak heran jika di daerah asal para BMI berdiri dengan megahnya istana para sponsor BMI. Nah!! kalau sistem di pemerintah daerah asal BMI saja sudah ngawur, bagaimana nasib BMI kedepannya? Pemerintah mengirim BMI ke luar negeri hanya demi aliran devisa semata. Tragis!!

Pemerintah daerah seharusnya membantu mensosialisasikan/mengedukasi masyarakat,  agar tidak tergiur dengan iming-iming gaji besar setelah bekerja di luar negeri tanpa disertai jaminan perlindungan yang jelas dari PJTKI. Disini peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan. Dorongan dan dukungan dari pemerintah daerah sejak awal, mungkin bisa meminimalisir korban/penganiayaan/kematian terhadap buruh migran. Hendaknya pemerintah daerah lebih giat dalam memperingatkan masyarakatnya, agar lebih jeli/kritis memilih PJTKI yang memang mau mempedulikan nasib buruh migran dan tidak hanya melihat keuntungan yang didapat dari dolar, ringgit atau riyal semata. Bila masyarakat cerdas tentunya pemerintah daerah pun akan bangga. "Oh, ini lho BMI hasil binaan pemerintah daerah...."

Hong Kong 28 Desember 2010

(Repost lagi yang pernah terhapus. he he...)