Search This Blog

27 March 2012

Kedatangan Presiden SBY Disambut Demo Oleh BMI HK

1500 Buruh Migran Indonesia kepung KJRI HK
Minggu (25/3) adalah hari yang bersejarah bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Menyambut kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, BMI Hong Kong melakukan aksi demo besar-besaran. Bahkan sejak hari Sabtu (24/3), SBY telah disambut demo oleh sebagian BMI yang libur atau pun BMI yang tidak libur tetapi mendapatkan izin dari sang majikan untuk bergabung demo hari itu. Demo dilakukan dua gelombang di tempat yang berbeda. 


Demo gelombang pertama, diadakan di pintu belakang Hotel Shangri La, Admiralty, di mana SBY beserta istri dan rombongannya menginap. Karena ketatnya penjagaan di sekitar hotel, maka demo hanya diikuti oleh sekitar 100 BMI HK. Akan tetapi beberapa perwakilan dari buruh migran Filipina pun ikut mendukung dan bergabung dalam aksi tersebut. Bahkan dalam orasinya, salah satu perwakilan buruh dari Filipina meneriaki Presiden SBY.
"SBY...shame on you. Look they are a woman, why you dont want to come down and talk to them as a man?" begitu dia berteriak yang disambut gegap gempita buruh migran Indonesia.
100 Demonstran yang berada di belakang Shangri La Hotel.
Seperti dilansir di beberapa media, Presiden SBY melakukan kunjungan ke Hong Kong selain bertemu dengan Chief Executive Hong Kong  Special Administrative Region (HK SAR), Donald Tsang, juga untuk melakukan dialog dengan perwakilan BMI, tapi pada kenyataannya tak satu pun dari organisasi vokal yang ada di Hong Kong diundang untuk bertatap muka dengan Presiden Republik Indonesia tersebut.


Dengan alasan keamanan dan keselamatan, orang nomer satu di Indonesia itu meminta penjagaan dan pengawalan ketat. Kurang lebih 400 polisi dikerahkan sejak (24/3) kedatangan Presiden SBY berserta rombongan yang sehari sebelumnya berada di Shanghai, China. Namun, keberadaan 400 polisi tak membuat gentar dan menyurutkan langkah para buruh migran. Mereka tetap berjuang demi hak-hak yang terabaikan. Dalam tuntutannya selain menolak harga BBM, BMI HK juga menyerukan Tolak KTKLN, Izinkan Kontrak Mandiri, Cabut UUPPTKILN No 39/2004.


Harapan BMI setelah kunjungan Presiden SBY ke Hong Kong akan adanya perubahan nyata terkait hukum perburuhan untuk BMI Hong Kong. Akan tetapi harapan itu sepertinya sulit terwujud karena tak pernah ada dialog yang benar-benar mewakili BMI. Dialog yang ada telah di setting oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong. Sepertinya KJRI HK tak ingin kebobolan tentang borok-boroknya selama ini.


Kekecewaan tak cuma dirasakan oleh BMI, tetapi salah satu perwakilan media berbahasa Indonesia di Hong Kong pun ikut kecewa. Saat diberi kesempatan berorasi di depan massa, wartawan tersebut membacakan sms dari Konjen RI, Teguh Wardoyo. Berikut isi sms tersebut," Pak Lud, maaf tempat sudah penuh, maka kami menolak anda untuk masuk ke ruang dialog."


Ditutup dengan pembacaan doa dan sholawat, para demonstran bubar. Mereka beralih tempat menuju KJRI HK.


Membludak
Pada gelombang kedua yang dilakukan di depan KJRI, demonstran kian membludak. Diperkirakan 1500 demonstran memadati jalanan 127-129 Leighton Road, 6-8 Keswick Street, Causeway Bay. Ketika massa tiba di depan KJRI, tak terlihat polisi berjaga-jaga seperti biasanya. Ini jarang terjadi, ketika demo tak ada polisi di tempat demo.


Eni Lestari (Ketua IMA) saat berorasi didampingi Anik Setyo (Ketua Imwu)
Seperti yang dikatakan Antik Pristiwahyudi, mantan ketua Indonesian Migrant Worker Union (IMWU), "Massa yang diperkiraan 800 orang, tapi terlihat massa kian membludak hingga mencapai sekitar 1500 orang lebih". Ketika demo telah berjalan sekitar setengah jam, tampak beberapa polisi datang mengamankan. Bertemu dengan perwakilan buruh migran dan memastikan demo hari itu telah mendapatkan izin. Demo terus berlanjut, berteriak yel-yel hingga menarik perhatian siapa saja yang melintas di jalanan saat itu. Bahkan bergabung hingga massa terus bertambah.


Tak banyak polisi berjaga, karena hari itu, Hong Kong tengah mengadakan pemilihan Chief Executive. Pada hari yang sama pula, di kawasan Causeway Bay ada pertandingan Rugby Sevens, sehingga polisi dikerahkan kedua titik rawan. Polisi dan masyarakat Hong Kong memberikan keleluasaan demo hari itu. Aksi demo pun tertib tanpa pengawalan polisi. Satu bukti bahwa BMI HK bisa menjaga martabat bangsa, berdemo tanpa tindakan anarkis.


Setelah hampir satu jam berlalu, serombongan staff KJRI yang berpakaian rapi, melintas di antara pendemo. Sontak massa berteriak, "Huuuuuuu........" sambil membalikkan jempol. Bukannya masuk ke dalam gedung, beberapa staff KJRI malah berdiri di pojokan sambil sesekali mengambil foto.
Tampak beberapa Staff KJRI berdiri di pojok gedung.
Bahkan ada staff KJRI yang menyeletuk dari belakang,"Arek-arek kuwi padha ngapa?" begitu laporan dari mbak-mbak BMI yang berdiri berjajar di pojok bareng bapak-bapak KJRI. Demo berjalan lancar, rapi, aman dan tertib dengan massa terbanyak sepanjang sejarah BMI HK.
"BMI bersatu, tak bisa dikalahkan!! BMI Bersatu, bergerak, berjuang!!" yel-yel wajib setiap demo. Lanjutkan!!!

09 March 2012

Nasib PAHLAWAN Devisa dan OPTIMALISASI Peran Pemerintah Daerah.


Buruh Migran Indonesia di Hong Kong
Memutuskan menjadi buruh migran bukanlah sebuah pilihan yang mudah di tengah tingginya angka pengangguran di Tanah Air. Bisa dipastikan buruh migran bukanlah sebuah cita-cita yang diimpikan ketika masih duduk di bangku sekolah. Tekanan  ekonomi telah memaksa mereka menjatuhkan pilihan untuk menjadi buruh migran dan pergi meninggalkan keluarga di Tanah Air. Seandainya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, tidak mungkin rakyatnya berbondong-bondong menjadi buruh migran di negeri orang, mengadu nasib demi keberlangsungan hidup.

Minimnya lowongan pekerjaan dengan gaji yang memadai memang menjadi  persoalan klasik yang tak pernah menemukan solusi dari Pemerintah Indonesia. Dari tahun ke tahun angka pengangguran semakin meningkat tajam. Merantau menjadi buruh migran menjadi salah satu dampak dari ketiadaan lapangan kerja di dalam negeri. Akan tetapi, mengapa setelah rakyat Indonesia menjadi buruh migrant, pemerintah terkesan memarginalkan kaum buruh? 

Bahkan meremehkan keberadaan kaum buruh migran yang biasa disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW), Pembantu Rumah Tangga (PRT), Buruh Migran Indonesia (BMI), Tenaga Kerja Indonesia (TKI), babu, kuli atau apalah. Seakan kaum buruh tak lebih dari sekelompok kaum marginal strata rendah yang tak pantas dihargai. Begitukah?

Pandangan itu tak lepas dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih gemar mengelompokkan suatu golongan, membeda-bedakan status sosial dalam lingkup kehidupan masyarakat di sekitarnya. Tentu saja ini sangat ironis. Apalagi bila melihat persoalan kebutuhan utama hidup manusia dan perjuangan perbaikan ekonomi (bekerja) tidak bisa dikhususkan hanya bagi atau dengan status tertentu. Persoalan pemenuhan kebutuhan utama alias bekerja dan persoalannya tidak cukup pada perbedaan status sosial. Sebab, apa pun itu, tujuan bekerja setiap orang adalah sama yaitu mencari penghidupan. Pekerjaan hanyalah status sosial dan yang mengerjakan sama yaitu manusia.

Tidak Mudah
Bukan perkara mudah ketika memutuskan untuk bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. Banyak hal yang harus dipikirkan. Karena bagaimanapun situasi, lingkungan hidup dan budaya pasti sangatlah berbeda antara negara asal dan negara tujuan. Di satu sisi menjadi buruh migran adalah solusi untuk mengangkat derajat ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, terutama keluarga. 

Melihat kompleksitas menjadi buruh migran, di sini seharusnya pemerintah justru berterima kasih kepada para buruh migran dan bukan mengucilkannya bahkan mengabaikannya. Mengapa berterima kasih?  Karena dengan adanya warga yang memutuskan menjadi buruh migran, berarti Pemerintah telah diuntungkan karena ini bisa mengurangi angka pengangguran di daerahnya. Dan tentu saja juga meningkatkan pendapatan pemerintah daerah setempat asal BMI, melalui kiriman uang yang disampaikan ke keluarganya di kampung halaman. Tak seharusnya masyarakat membeda-bedakan status sosial berdasarkan pekerjaan.

Haruskah perbedaan itu ada? Bukankah perbedaan itu indah? Jika saja masyarakat kita mau berpandangan luas, berpikir positif, tentu tak perlu ada pembagian suatu golongan atau kelompok tertentu dalam masyarakat itu sendiri. Hidup berdampingan secara rukun, saling tolong-menolong dan berpikir bahwa kita saling membutuhkan serta saling mengisi kekurangan masing-masing, menselaraskan kehidupan dengan alam yang dapat menciptakan harmonisasi dan sinergi maka tak perlu ada pembagian golongan dalam bermasyarakat. Namun selama ini masyarakat terlalu egois untuk mengakui perbedaan.

Dalam kehidupan yang kian hedonistis cara pandang yang seperti itu tentu saja sangat merugikan bagi kaum termarginalkan salah satunya buruh migran. Gelar pahlawan devisa yang diberikan pemerintah hanyalah omong kosong. Kenapa sebagai pahlawan devisa (jika memang dianggap pahlawan) tersingkir dan dianaktirikan oleh bangsa sendiri? Pemerintah Indonesia tidak terlalu tanggap dengan permasalahan buruh migran. Tidak juga memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para penghasil devisa itu.

Tak Cukup Bekal 
Pelatihan yang diberikan selama di penampungan tak cukup untuk membekali para calon BMI. Minimnya fasilitas yang disediakan di penampungan dan dibatasinya ruang gerak bagi para calon BMI , tidak mendukung calon BMI untuk belajar lebih banyak tentang tata cara dan adat istiadat negara tujuan. Pemerintah kurang peka terhadap apa saja yang dibutuhkan para calon buruh migran. Dan terkesan membiarkan warga negaranya yang memutuskan bekerja di luar negeri tanpa bekal yang memadai. Para buruh migran tidak melulu harus belajar tata cara pelaksana rumah tangga. Kalau pun ada pembekalan, itu juga sangat terbatas malah terkesan seadanya. 

Mengapa pemerintah tidak mensosialisasikan bagaimana budaya negara tujuan? Dan harus kemana bila terjadi sesuatu pada buruh migran setelah bekerja di negara tujuan? Perwakilan pemerintah di negara tujuan pun tidak cukup membantu. Karena perwakilan pemerintah di negara tujuan jarang berpihak kepada BMI.  Banyak buruh migran di Hong Kong (yang baru datang khususnya), yang tidak tau kemana harus mengadukan masalah yang menimpanya. Buruh migran justru meminta tolong kepada Labour departement atau non goverment organisation. Pertanyaannya, Mengapa buruh migran lebih percaya NGO? kemana pemerintah selama ini?

Pemerintah Indonesia begitu teliti saat menghitung jumlah remittance yang dikirim buruh migran hingga digit terkecil sekalipun. Selama ini pemerintah menutup mata dan telinga. Permasalahan bahkan bertambah kompleks.  Apakah itu timbal balik yang diberikan negara? Diakui atau tidak, buruh migran adalah penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dan para buruh itu yang notabene hanya lulusan SMP atau SMA telah melakukan sesuatu untuk negara, pantaskah pemerintah menelantarkan buruh migran? Karena siapapun itu, semua rakyat Indonesia mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Indonesia untuk mendapat perlindungan.

Menjadi buruh migran tidaklah semudah yang dibayangkan khalayak selama ini. Bekerja di negeri beton  (Hong Kong), tentu ada tantangan tersendiri. Ritme kerja yang serba teratur dan serba cepat, juga menuntut BMI untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja. Dan ini sangat kontras dengan keadaan di Indonesia yang serba santai. Pemerintahan pun terkesan lamban dalam melayani kebutuhan masyarakat. Banyak pejabat yang hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada harus mengabdikan diri kepada masyarakat. Maka, muncullah masalah-masalah baru di pemerintahan.

Semakin banyaknya masalah yang terjadi di Tanah Air semakin pula masalah itu tidak terselesaikan dengan tuntas. Bahkan, semakin carut marut, sehingga masalah ketenaga kerjaanpun terabaikan. Rasanya tidak muluk-muluk kalau BMI menuntut perlindungan kerja yang jelas. Aturan-aturan yang tertera selama ini hanya tertuang dalam selembar Surat Keputusan (SK), tanpa terealisasi dengan baik. Akan tetapi, bagaimanapun BMI punya hak untuk tetap memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.

Masyarakat kita selama ini telah terdoktrin bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan gampang yang menghasilkan uang jutaan. Namun, pernahkah terlintas dalam pikiran mereka bagaimana proses menjadi BMI? Dan bagaimana pula memerankan buruh, di negeri orang berbeda budaya? Berada jauh dari sanak keluarga, bekerja keras di antara cucuran keringat, di bawah tindasan majikan, teraniaya dan hak-haknya yang terampas. Tekanan psikis dan fisik pun harus di terimanya. Sungguh bukanlah suatu hal yang mudah. Hong Kong dari segi financial boleh diacungi jempol tetapi sisi kehidupannya yang keras membuat sesak nafas hingga tak adanya waktu buat diri sendiri. Bahkan jatah waktu tidurpun terenggut paksa.

Salah Sistem 
Banyaknya kasus penganiayaan terhadap buruh migran belakangan ini, tak lepas dari salahnya sistem perekrutan, dokumentasi dan pelatihan calon BMI yang akan dikirim ke luar negeri. Pemalsuan dokumen yang terjadi sejak di daerah asal BMI, akan menjadi masalah di kemudian hari. Bila terjadi sesuatu pada BMI, maka akan sulit mengidentifikasi yang bersangkutan. Keterbatasan informasi dan peran aktif pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor seakan-akan menjadi dewa penolong mereka.

Sponsor atau perusahaan jasa tenaga kerja indonesia (PJTKI), berkeliaran mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang menggiurkan tanpa disertai dengan informasi yang jelas. Mereka bekerja demi mengeruk keuntungan pribadi. Maka, tak heran jika di daerah asal para BMI berdiri dengan megahnya istana para sponsor BMI. Nah!! kalau sistem di pemerintah daerah asal BMI saja sudah ngawur, bagaimana nasib BMI kedepannya? Pemerintah mengirim BMI ke luar negeri hanya demi aliran devisa semata. Tragis!!

Pemerintah daerah seharusnya membantu mensosialisasikan/mengedukasi masyarakat,  agar tidak tergiur dengan iming-iming gaji besar setelah bekerja di luar negeri tanpa disertai jaminan perlindungan yang jelas dari PJTKI. Disini peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan. Dorongan dan dukungan dari pemerintah daerah sejak awal, mungkin bisa meminimalisir korban/penganiayaan/kematian terhadap buruh migran. Hendaknya pemerintah daerah lebih giat dalam memperingatkan masyarakatnya, agar lebih jeli/kritis memilih PJTKI yang memang mau mempedulikan nasib buruh migran dan tidak hanya melihat keuntungan yang didapat dari dolar, ringgit atau riyal semata. Bila masyarakat cerdas tentunya pemerintah daerah pun akan bangga. "Oh, ini lho BMI hasil binaan pemerintah daerah...."

Hong Kong 28 Desember 2010

(Repost lagi yang pernah terhapus. he he...)

02 March 2012

Suasana Hari Minggu di Victoria Park


Causeway Bay- “Bakso..soto…dawet... jamune mbak e…..,” teriakan-teriakan seperti itu terdengar hilir mudik setiap minggu di Victoria Park. Hari minggu adalah hari kebebasan bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Mereka bisa bebas menghirup udara pagi untuk sejenak melupakan beban hidup. Di hari minggu itulah mereka memiliki waktu sepenuhnya tanpa harus memikirkan rutinitas yang menjemukan. Setelah 6 hari bekerja di rumah majikan lebih dari 16 jam setiap harinya. Jadi tak ada salahnya ketika akhir pekan tiba, mereka memanjakan diri di “Kampung Jawa” (Victoria Park), tempat nongkrong BMI Hong Kong asal Indonesia.

Victoria Park adalah sebuah taman yang terletak di pusat kota Hong Kong tepatnya di kawasan Causeway Bay. Begitu masuk ke taman ini, suasananya akan terasa banget seperti di kampung halaman. Di sana sini akan terdengar riuhnya BMI Hong Kong dengan logat medhok-nya. Malah, banyak pedagang lokal maupun buruh migran Pakistan yang sengaja menggunakan bahasa Jawa untuk menarik minat BMI.

"Mulah…mulah…seket telu….apik-apik," begitulah mereka menawarkan dagangannya. Mungkin yang baru pertama menginjakkan kakinya di taman ini, merasa heran dan tersenyum sendiri. Akan tetapi pemandangan seperti itu sudah biasa bagi BMI Hong Kong. Dan akan menambah ramai suasana taman tersebut, karena semua berbaur menjadi satu.
Pedagang dan BMI berbaur di Victoria Park.

Ketika matahari belum meninggi, suasana minggu pagi di "Kampung Jawa" masih terlihat lengang. Hanya tampak beberapa penduduk lokal yang melakukan aktivitas jogging di jogging track yang tersedia di area lapangan. Semakin siang, semakin banyak BMI yang datang memadati lapangan rumput/taman. Di Victoria Park inilah mayoritas BMI melakukan aktivitas untuk mengisi waktu libur mereka.

Ada 2 buah lapangan yang bisa dijadikan tempat BMI melakukan kegiatan. Satu lapangan rumput dan satunya lagi lapangan sepak bola. Di hari minggu semua BMI tumplek bleg di sana. Mereka datang dari berbagai penjuru kota di Hong Kong. Datang untuk bertemu dengan saudara. Bergerombol di salah satu sudut taman, duduk melepas penat sambil ngobrol.
Lapangan sepak bola ini akan dipadati BMI ketika sore telah tiba.


Mencari Kiblat di Kaki Langit Hong Kong

Hong Kong dengan gaya hidup yang megapolis, mampu mempengaruhi siapa saja yang berada di dalam lingkupnya. Tak terkecuali buruh migran. Mereka seringkali mendapat godaan yang menggiurkan hingga terjerumus ke dalam gaya hidup glamour. Berfoya-foya menghamburkan uang demi kepuasan semu. Lebih parahnya, seakan mereka tak punya tujuan hidup. Mereka telah terbius kenikmatan duniawi. Maka, untuk mengantisipasinya dan mempertebal keimanan, kegiatan pengajian pun sering diadakan oleh beberapa organisasi di Hong Kong yang digelar di taman/lapangan rumput. Ada beberapa komunitas muslim dari kalangan BMI. Sebut saja Persatuan Dakwah Victoria (PDV) Hong Kong. Komunitas ini sangat aktif dalam berdakwah di lapangan rumput. Walau banyak rintangan yang mereka hadapi, tapi mereka tak patah semangat.

“Demi kebaikan sesama BMI dan semua umat, marilah kita beramal sebanyak-banyaknya, mumpung suasananya pas ramadhan,” begitulah ajakan dari salah satu anggota PDV yang tak mau disebutkan namanya. Dengan gigih komunitas ini, selalu mendatangi/mengajak BMI. Siapa pun boleh bergabung dalam komunitas ini tanpa pandang bulu. Mereka berkeliling lapangan menyerukan ajakan untuk selalu mengingat Sang Pencipta, untuk menambah ilmu keagamaan atau setidaknya membentengi diri dari pengaruh lingkungan.
Moment Lebaran tahun 2011


Selain aktif berdakwah, mereka juga melakukan kegiatan sosial. Seperti pada hari minggu lalu (21/8/2010), mereka berkeliling taman membersihkan sampah-sampah yang berserakan, dalam rangka peduli ramah lingkungan di Hong Kong yang bertajuk “Support Clean of Hong Kong.” Kegiatan ini bertujuan mengajak BMI Hong Kong untuk lebih sadar kebersihan lingkungan seperti yang selalu diserukan pemerintah Hong Kong.

Selain PDV, masih ada beberapa organisasi yang aktif di bidang dakwah. Ada Majelis Ta’lim, Ikatan Persaudaraan Muslimah Hong Kong (IPMH), Gabungan Migran Muslim Indonesia (GAMMI). Dilihat dari sekian banyak organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, tergambar jelas antusiasme buruh migran untuk belajar dan mendalami ilmu agama walau di perantauan. Inilah salah satu sisi positif BMI dari sekian berita-berita miring, terutama BMI Hong Kong. "Hidup diperantauan, penuh resiko dan godaan. Jadi hidup butuh keseimbangan,” kata salah satu muslimah BMI.

Duta seni dan budaya 

Tanpa disadari sebenarnya buruh migran di Hong Kong, punya andil besar dalam memperkenalkan budaya Indonesia. Lewat berbagai kegiatan yang selalu menampilkan tari-tarian daerah. Atau kadang saat berdemo pun, BMI sering melakukan atraksi tari-tarian sehingga menarik penduduk lokal maupun turis asing. Maka, tak heran jika ada pertanyaan, siapa mereka? Tari apa yang mereka peragakan? Pada saat itulah rasa bangga menyeruak dalam dada. Bangga ketika ada orang yang bertanya tentang budaya Indonesia. Dan bangga pula bisa memperkenalkan budaya Indonesia, walau hanya berprofesi sebagai buruh migran. Ini juga sisi kegiatan positif BMI yang luput dari perhatian media di Indonesia dan pemerintahnya juga. Sekali lagi, selama ini yang ada hanya berita miring saja. Huhh....

Biasanya sejumlah BMI yang gemar atau punya hobby yang sama ini, akan belajar secara otodidak. Mereka giat berlatih setiap minggunya di Victoria Park. Rasa kebersamaan yang terbangun menjadikan mereka bersatu dalam segala suasana. Dari seni mereka belajar banyak tentang kehidupan. Seni yang telah mempersatukan mereka. Dan lewat seni juga biasanya mereka berjuang melawan ketidakadilan yang mereka terima. Drama teaterikal selalu mereka suguhkan dengan tema isu-isu yang bersangkutan dengan buruh migrant. Menyindir pemerintah lewat seni. Tapi seperti yang telah kita ketahui, pemerintah Indonesia terlalu bebal.

Dari komunitas seni Sekar Bumi yang berslogan,” Lewat seni kami melawan,” sering menampilkan tarian tradisional. Group ini sering di undang untuk mengisi acara penduduk lokal (Hong Kong) mau pun mengisi acara yang diselenggarakan kawan-kawan BMI.  Juga dari group Sanggar Budaya Indonesia  yang ada di bawah naungan Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI). Mereka juga sering menampilkan tarian dari berbagai daerah di Indonesia.
Group Sekar Bumi Hong Kong

Teater Angin, komunitas buruh pecinta sastra dan teater pun tak kalah ketinggalan. Komunitas ini aktif di kegiatan tulis menulis dengan tema seputar buruh migran. Begitu juga dengan Forum Lingkar Pena (FLP), mereka aktif di bidang kepenulisan dan berdakwah melalui tulisan keagamaan.

Sejumlah BMI, terlihat mondar mandir di Victoria Park setiap minggunya dengan menenteng kamera DSLR. Merekalah pecinta dunia fotografi. Berkeliling taman, mengambil moment BMI yang unik untuk dikoleksi. Mereka tergabung dalam satu wadah dan hobby yang sama yaitu Indografer. 
Salah satunya BMI asal Wonosobo, Nur Chasanah. Dia mengaku jatuh cinta pada dunia fotografi sudah sejak lama, namun baru serius 2 tahun terakhir. Awalnya dia hanya coba-coba, tetapi pada akhirnya dia benar-benar jatuh cinta pada dunia photografi. Dia ingin bercerita seputar BMI lewat hasil jepretan fotonya.

“Asyik banget kok, aku paling suka motret kegiatan kawan-kawan BMI. Dan aku mulai menekuni dunia fotografi, siapa tahu nanti saat kembali ke tanah air, ilmunya bisa dimanfaatkan. Kan lumayan ada pekerjaan daripada jobless setelah dari luar negeri,” ujar lajang kelahiran tahun 1981 ini.

Dari ribuan BMI tersebut juga ada group-group dancer. Dengan dandanan yang funky dan style yang selalu up to date dan tak kalah dengan selebritis tanah air. Meraka mampu merebut perhatian dan apresiasi dari kawan-kawan BMI yang lain. Banyak group dancer, diantaranya Alexa Dancer, Ck Funky Dancer, DIF dancer dan masih banyak lagi. Saat beraksi, jangan ditanya lagi kemampuan mereka. Walau belajar secara otodidak, namun mereka terlihat begitu atraktif dan kreatif. Biasanya peminat group dancer adalah anak-anak tomboy. Jadi disinilah sisi positif anak-anak tomboy di Hong Kong, tidak selalu berbuat hal-hal negative seperti yang selalu di soroti media dan menjadi berita heboh.

Warung Lesehan Pojok Victoria

Ketika melintas di sudut-sudut Victoria Park, di sana akan terlihat perempuan-perempuan duduk berjejer. Di depan mereka biasa tersaji aneka masakan khas Indonesia. Tak lupa kompor portable, cobek beserta uleg-nya dan perlengkapan yang lain, yang dimasukkan kedalam koper besar, lengkap dengan segala jenis sayuran atau bahan makanan (Bakso sapi, sambel kacang, kecap, tempe, plastik, daun pisang dsb), semua jadi satu tapi tersusun rapi.

Merekalah BMI yang sedang berjualan nasi dan aneka makanan Indonesia. Walau sebenarnya berjualan dilarang oleh pemerintah Hong Kong, namun mereka nekad melakukannya. Untuk menambah penghasilan, rata-rata begitulah alasan mereka. Tak jarang ketika ada operasi mendadak, beberapa diantara mereka ada yang tertangkap basah oleh “pakdhe” (pihak imigrasi Hong Kong). Kalau sudah begitu bisa panjang urusannya.

Seperti pengalaman salah satu penjual nasi pecel asal Banyuwangi. Selama 7 tahun menggeluti bisnis berjualan nasi secara illegal setiap minggu, sudah 2 kali tertangkap. Tetapi saat tertangkap, pihak imigrasi tak cukup punya bukti akhirnya dia lolos kembali. Pihak imigrasi Hong Kong, memang tidak sembarang menangkap korban-korban yang diincarnya. Walau sebenarnya mereka tahu perbuatan korban, tetapi mereka tidak punya bukti, biasanya korban akan dilepas kembali.

“Sayang kalau saya berhenti berjualan, karena dari berjualan inilah saya bisa mendapatkan uang tambahan. Jadi gaji saya sebulan bisa utuh saya tabung,” ungkapnya. Niken (nama samaran), mengaku bisa meraup keuntungan sebesar HKD 2000/minggu. Jadi dia merasa enggan meninggalkan bisnis ilegalnya ini. Bahkan dia mengaku tak kapok walau sudah 2 kali tertangkap. Dan bilang akan lebih berhati-hati menjalankan bisnis ilegalnya ini.
Salah seorang penjual yang melayani pembeli.

Antara satu penjual dengan penjual lainnya, terlihat kompak ketika petugas imigrasi mengincar atau mendatangi mereka. Biasanya salah satu dari mereka akan berteriak,” pakdheeeeeeeeeeeeeeeeeeee……” maka serentak mereka akan menutup koper-koper yang ada barang dagangannya dan akan berpura-pura asyik ngobrol dengan temannya untuk mengelabuhi si pakdhe. Seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu disana.

Begitulah warna-warni kehidupan BMI Hong Kong di Victoria Park. Begitu banyak cerita. Positif dan negative, semua ada. Tak seperti yang disuguhkan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park-nya garapan Lola Amaria, yang hanya mengambil sisi negatifnya saja. Bukannya menampik cerita-cerita seperti itu. Kisah seperti itu memang ada, tapi alangkah lebih baik kalau disertai sisi positifnya juga. Jadi imbang tho? Biar masyarakat tahu kehidupan BMI yang sesungguhnya. Dan tidak berburuk sangka pada salah satu keluarganya yang mungkin bekerja di Hong Kong.
           
 Fanling, 26 Agustus 2011.

(Repost tulisan yang terhapus dengan tidak sengaja karena keusilan saya dan tulisan ini telah dimuat di Radar Madiun)