Search This Blog

02 March 2012

Suasana Hari Minggu di Victoria Park


Causeway Bay- “Bakso..soto…dawet... jamune mbak e…..,” teriakan-teriakan seperti itu terdengar hilir mudik setiap minggu di Victoria Park. Hari minggu adalah hari kebebasan bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Mereka bisa bebas menghirup udara pagi untuk sejenak melupakan beban hidup. Di hari minggu itulah mereka memiliki waktu sepenuhnya tanpa harus memikirkan rutinitas yang menjemukan. Setelah 6 hari bekerja di rumah majikan lebih dari 16 jam setiap harinya. Jadi tak ada salahnya ketika akhir pekan tiba, mereka memanjakan diri di “Kampung Jawa” (Victoria Park), tempat nongkrong BMI Hong Kong asal Indonesia.

Victoria Park adalah sebuah taman yang terletak di pusat kota Hong Kong tepatnya di kawasan Causeway Bay. Begitu masuk ke taman ini, suasananya akan terasa banget seperti di kampung halaman. Di sana sini akan terdengar riuhnya BMI Hong Kong dengan logat medhok-nya. Malah, banyak pedagang lokal maupun buruh migran Pakistan yang sengaja menggunakan bahasa Jawa untuk menarik minat BMI.

"Mulah…mulah…seket telu….apik-apik," begitulah mereka menawarkan dagangannya. Mungkin yang baru pertama menginjakkan kakinya di taman ini, merasa heran dan tersenyum sendiri. Akan tetapi pemandangan seperti itu sudah biasa bagi BMI Hong Kong. Dan akan menambah ramai suasana taman tersebut, karena semua berbaur menjadi satu.
Pedagang dan BMI berbaur di Victoria Park.

Ketika matahari belum meninggi, suasana minggu pagi di "Kampung Jawa" masih terlihat lengang. Hanya tampak beberapa penduduk lokal yang melakukan aktivitas jogging di jogging track yang tersedia di area lapangan. Semakin siang, semakin banyak BMI yang datang memadati lapangan rumput/taman. Di Victoria Park inilah mayoritas BMI melakukan aktivitas untuk mengisi waktu libur mereka.

Ada 2 buah lapangan yang bisa dijadikan tempat BMI melakukan kegiatan. Satu lapangan rumput dan satunya lagi lapangan sepak bola. Di hari minggu semua BMI tumplek bleg di sana. Mereka datang dari berbagai penjuru kota di Hong Kong. Datang untuk bertemu dengan saudara. Bergerombol di salah satu sudut taman, duduk melepas penat sambil ngobrol.
Lapangan sepak bola ini akan dipadati BMI ketika sore telah tiba.


Mencari Kiblat di Kaki Langit Hong Kong

Hong Kong dengan gaya hidup yang megapolis, mampu mempengaruhi siapa saja yang berada di dalam lingkupnya. Tak terkecuali buruh migran. Mereka seringkali mendapat godaan yang menggiurkan hingga terjerumus ke dalam gaya hidup glamour. Berfoya-foya menghamburkan uang demi kepuasan semu. Lebih parahnya, seakan mereka tak punya tujuan hidup. Mereka telah terbius kenikmatan duniawi. Maka, untuk mengantisipasinya dan mempertebal keimanan, kegiatan pengajian pun sering diadakan oleh beberapa organisasi di Hong Kong yang digelar di taman/lapangan rumput. Ada beberapa komunitas muslim dari kalangan BMI. Sebut saja Persatuan Dakwah Victoria (PDV) Hong Kong. Komunitas ini sangat aktif dalam berdakwah di lapangan rumput. Walau banyak rintangan yang mereka hadapi, tapi mereka tak patah semangat.

“Demi kebaikan sesama BMI dan semua umat, marilah kita beramal sebanyak-banyaknya, mumpung suasananya pas ramadhan,” begitulah ajakan dari salah satu anggota PDV yang tak mau disebutkan namanya. Dengan gigih komunitas ini, selalu mendatangi/mengajak BMI. Siapa pun boleh bergabung dalam komunitas ini tanpa pandang bulu. Mereka berkeliling lapangan menyerukan ajakan untuk selalu mengingat Sang Pencipta, untuk menambah ilmu keagamaan atau setidaknya membentengi diri dari pengaruh lingkungan.
Moment Lebaran tahun 2011


Selain aktif berdakwah, mereka juga melakukan kegiatan sosial. Seperti pada hari minggu lalu (21/8/2010), mereka berkeliling taman membersihkan sampah-sampah yang berserakan, dalam rangka peduli ramah lingkungan di Hong Kong yang bertajuk “Support Clean of Hong Kong.” Kegiatan ini bertujuan mengajak BMI Hong Kong untuk lebih sadar kebersihan lingkungan seperti yang selalu diserukan pemerintah Hong Kong.

Selain PDV, masih ada beberapa organisasi yang aktif di bidang dakwah. Ada Majelis Ta’lim, Ikatan Persaudaraan Muslimah Hong Kong (IPMH), Gabungan Migran Muslim Indonesia (GAMMI). Dilihat dari sekian banyak organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, tergambar jelas antusiasme buruh migran untuk belajar dan mendalami ilmu agama walau di perantauan. Inilah salah satu sisi positif BMI dari sekian berita-berita miring, terutama BMI Hong Kong. "Hidup diperantauan, penuh resiko dan godaan. Jadi hidup butuh keseimbangan,” kata salah satu muslimah BMI.

Duta seni dan budaya 

Tanpa disadari sebenarnya buruh migran di Hong Kong, punya andil besar dalam memperkenalkan budaya Indonesia. Lewat berbagai kegiatan yang selalu menampilkan tari-tarian daerah. Atau kadang saat berdemo pun, BMI sering melakukan atraksi tari-tarian sehingga menarik penduduk lokal maupun turis asing. Maka, tak heran jika ada pertanyaan, siapa mereka? Tari apa yang mereka peragakan? Pada saat itulah rasa bangga menyeruak dalam dada. Bangga ketika ada orang yang bertanya tentang budaya Indonesia. Dan bangga pula bisa memperkenalkan budaya Indonesia, walau hanya berprofesi sebagai buruh migran. Ini juga sisi kegiatan positif BMI yang luput dari perhatian media di Indonesia dan pemerintahnya juga. Sekali lagi, selama ini yang ada hanya berita miring saja. Huhh....

Biasanya sejumlah BMI yang gemar atau punya hobby yang sama ini, akan belajar secara otodidak. Mereka giat berlatih setiap minggunya di Victoria Park. Rasa kebersamaan yang terbangun menjadikan mereka bersatu dalam segala suasana. Dari seni mereka belajar banyak tentang kehidupan. Seni yang telah mempersatukan mereka. Dan lewat seni juga biasanya mereka berjuang melawan ketidakadilan yang mereka terima. Drama teaterikal selalu mereka suguhkan dengan tema isu-isu yang bersangkutan dengan buruh migrant. Menyindir pemerintah lewat seni. Tapi seperti yang telah kita ketahui, pemerintah Indonesia terlalu bebal.

Dari komunitas seni Sekar Bumi yang berslogan,” Lewat seni kami melawan,” sering menampilkan tarian tradisional. Group ini sering di undang untuk mengisi acara penduduk lokal (Hong Kong) mau pun mengisi acara yang diselenggarakan kawan-kawan BMI.  Juga dari group Sanggar Budaya Indonesia  yang ada di bawah naungan Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI). Mereka juga sering menampilkan tarian dari berbagai daerah di Indonesia.
Group Sekar Bumi Hong Kong

Teater Angin, komunitas buruh pecinta sastra dan teater pun tak kalah ketinggalan. Komunitas ini aktif di kegiatan tulis menulis dengan tema seputar buruh migran. Begitu juga dengan Forum Lingkar Pena (FLP), mereka aktif di bidang kepenulisan dan berdakwah melalui tulisan keagamaan.

Sejumlah BMI, terlihat mondar mandir di Victoria Park setiap minggunya dengan menenteng kamera DSLR. Merekalah pecinta dunia fotografi. Berkeliling taman, mengambil moment BMI yang unik untuk dikoleksi. Mereka tergabung dalam satu wadah dan hobby yang sama yaitu Indografer. 
Salah satunya BMI asal Wonosobo, Nur Chasanah. Dia mengaku jatuh cinta pada dunia fotografi sudah sejak lama, namun baru serius 2 tahun terakhir. Awalnya dia hanya coba-coba, tetapi pada akhirnya dia benar-benar jatuh cinta pada dunia photografi. Dia ingin bercerita seputar BMI lewat hasil jepretan fotonya.

“Asyik banget kok, aku paling suka motret kegiatan kawan-kawan BMI. Dan aku mulai menekuni dunia fotografi, siapa tahu nanti saat kembali ke tanah air, ilmunya bisa dimanfaatkan. Kan lumayan ada pekerjaan daripada jobless setelah dari luar negeri,” ujar lajang kelahiran tahun 1981 ini.

Dari ribuan BMI tersebut juga ada group-group dancer. Dengan dandanan yang funky dan style yang selalu up to date dan tak kalah dengan selebritis tanah air. Meraka mampu merebut perhatian dan apresiasi dari kawan-kawan BMI yang lain. Banyak group dancer, diantaranya Alexa Dancer, Ck Funky Dancer, DIF dancer dan masih banyak lagi. Saat beraksi, jangan ditanya lagi kemampuan mereka. Walau belajar secara otodidak, namun mereka terlihat begitu atraktif dan kreatif. Biasanya peminat group dancer adalah anak-anak tomboy. Jadi disinilah sisi positif anak-anak tomboy di Hong Kong, tidak selalu berbuat hal-hal negative seperti yang selalu di soroti media dan menjadi berita heboh.

Warung Lesehan Pojok Victoria

Ketika melintas di sudut-sudut Victoria Park, di sana akan terlihat perempuan-perempuan duduk berjejer. Di depan mereka biasa tersaji aneka masakan khas Indonesia. Tak lupa kompor portable, cobek beserta uleg-nya dan perlengkapan yang lain, yang dimasukkan kedalam koper besar, lengkap dengan segala jenis sayuran atau bahan makanan (Bakso sapi, sambel kacang, kecap, tempe, plastik, daun pisang dsb), semua jadi satu tapi tersusun rapi.

Merekalah BMI yang sedang berjualan nasi dan aneka makanan Indonesia. Walau sebenarnya berjualan dilarang oleh pemerintah Hong Kong, namun mereka nekad melakukannya. Untuk menambah penghasilan, rata-rata begitulah alasan mereka. Tak jarang ketika ada operasi mendadak, beberapa diantara mereka ada yang tertangkap basah oleh “pakdhe” (pihak imigrasi Hong Kong). Kalau sudah begitu bisa panjang urusannya.

Seperti pengalaman salah satu penjual nasi pecel asal Banyuwangi. Selama 7 tahun menggeluti bisnis berjualan nasi secara illegal setiap minggu, sudah 2 kali tertangkap. Tetapi saat tertangkap, pihak imigrasi tak cukup punya bukti akhirnya dia lolos kembali. Pihak imigrasi Hong Kong, memang tidak sembarang menangkap korban-korban yang diincarnya. Walau sebenarnya mereka tahu perbuatan korban, tetapi mereka tidak punya bukti, biasanya korban akan dilepas kembali.

“Sayang kalau saya berhenti berjualan, karena dari berjualan inilah saya bisa mendapatkan uang tambahan. Jadi gaji saya sebulan bisa utuh saya tabung,” ungkapnya. Niken (nama samaran), mengaku bisa meraup keuntungan sebesar HKD 2000/minggu. Jadi dia merasa enggan meninggalkan bisnis ilegalnya ini. Bahkan dia mengaku tak kapok walau sudah 2 kali tertangkap. Dan bilang akan lebih berhati-hati menjalankan bisnis ilegalnya ini.
Salah seorang penjual yang melayani pembeli.

Antara satu penjual dengan penjual lainnya, terlihat kompak ketika petugas imigrasi mengincar atau mendatangi mereka. Biasanya salah satu dari mereka akan berteriak,” pakdheeeeeeeeeeeeeeeeeeee……” maka serentak mereka akan menutup koper-koper yang ada barang dagangannya dan akan berpura-pura asyik ngobrol dengan temannya untuk mengelabuhi si pakdhe. Seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu disana.

Begitulah warna-warni kehidupan BMI Hong Kong di Victoria Park. Begitu banyak cerita. Positif dan negative, semua ada. Tak seperti yang disuguhkan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park-nya garapan Lola Amaria, yang hanya mengambil sisi negatifnya saja. Bukannya menampik cerita-cerita seperti itu. Kisah seperti itu memang ada, tapi alangkah lebih baik kalau disertai sisi positifnya juga. Jadi imbang tho? Biar masyarakat tahu kehidupan BMI yang sesungguhnya. Dan tidak berburuk sangka pada salah satu keluarganya yang mungkin bekerja di Hong Kong.
           
 Fanling, 26 Agustus 2011.

(Repost tulisan yang terhapus dengan tidak sengaja karena keusilan saya dan tulisan ini telah dimuat di Radar Madiun)