Search This Blog

22 July 2012

Buruh Migran Indonesia Kreatif Di Hong Kong


Berbagai macam pernak pernik souvenir karya BMI-HK

"Tak ada jalan buntu bagi kreativitas. Apalagi ketika ia bertemu dengan ketekunan dan kemauan bekerja keras!"

Iseng! Keisengan tak selalu berbuntut negative. Sebuah keisengan bisa jadi membawa berkah. Dari keisengan tersebut mungkin bisa menjadi kreatifitas yang membanggakan. Dan jika ada istilah," iseng-iseng berhadiah," itulah yang terjadi pada dua orang Buruh Migran Indonesia (BMI), yang sedang mengais dolar di Hong Kong. Keisengan yang membawa berkah itu bermula dari obrolan santai ketika mereka bertemu di Victoria Park, di kawasan Causeway Bay.

Sebut saja Tri Winarni (29) dan Siti Marpu’ah (28), dua buruh migrant yang berbeda asal daerah ini, yang setiap hari minggu hanya menghabiskan waktu liburannya di Victoria Park. Suatu ketika ada seseorang yang membagi-bagikan brosur tentang tempat kursus pembuatan pernak pernik dari manik-manik. Merekapun tertarik dan mencari alamat yang tertera di brosur tersebut. Gayung bersambut, akhirnya mereka menemukan tempat kursus yang ada di kawasan Sham Shui Po, di sebuah gereja. Ongkosnya pun terbilang murah, hanya HKD 20 untuk sekali mengikuti kursus selama 2 jam waktu itu.

Akhirnya tak sampai 3 bulan, keduanya telah lihai membuat aneka pernak pernik. Semisal, gantungan kunci, tas tangan, boneka-boneka imut dan lucu pun tercipta dari tangan kreatif mereka.

“Kami sempat bingung setelah kursus, bagaimana caranya mengembangkan ilmu yang telah kami dapat? Hingga suatu hari kami kembali menemukan titik terang menuju ambang kesuksesan. Belum puas dengan ilmu yang kami peroleh, kamipun mengikuti seminar entrepreneur dari Universitas Ciputra yang dihelat oleh KJRI Hong Kong dalam rangka exit program untuk BMI,” jelas Tri atau yang akrab disapa Kutrix ini.

Pucuk dicinta ulam tiba. Setelah mengikuti seminar tersebut, mereka tertantang untuk merealisasikan ide-ide yang telah ada selama ini. Dengan tekad yang kuat dan hanya bermodalkan uang sebesar HKD 200 hasil patungan per orang, kedua BMI ini nekad memulai usaha. Karena dorongan keinginan untuk mandiri, mulailah mereka merangkai aneka manik-manik. Pertama yang mereka kerjakan hanya membuat bross dan gantungan kunci. Setelah terkumpul beberapa banyak, mereka mulai mencari informasi bagaimana cara memasarkan kreasi hasil olah tangan mereka. Sampai suatu hari, ketika salah satu organisasi di Hong Kong mengadakan bazaar, merekapun mendaftarkan diri. Dari sinilah kawan-kawan BMI yang lain mulai mengenal karya-karya cantik mereka. Dan keuntungannya pun bisa dibilang lumayan untuk permulaan sebuah usaha. Dengan keuntungan yang didapat tersebut, semakin bertambahlah modal mereka. Dan semakin membuka peluang wirausaha mereka kian berkembang.

Berbagi Ilmu
Untuk memperluas dan memperkenalkan usahanya yang sudah mulai jalan, kedua BMI inipun kemudian membuka kursus bagi yang mau belajar bersama. Dan kemudian mereka menggunakan " Friend's Souvenir" untuk usaha yang tengah mereka tekuni. Dengan peralatan seadanya dan tempat di lapangan terbuka, tak menyurutkan niat mereka untuk tetap berbagi dengan kawan sesama BMI. Setiap minggu, kira-kira sekitar 10 orang BMI yang bergabung menimba ilmu. Setiap peserta hanya dibebani biaya $ 40 untuk sekali pertemuan/kursus dan bahan manik-manik telah disediakan.

“Jadi untuk satu hasil karya tangan peserta, itu sudah menjadi hak milik mereka. Kalau mereka masih ingin menambah/membuat souvenir yang lain, peserta harus membayar lagi $ 40. Peserta boleh membawa pulang bahan manik-manik untuk dikerjakan disela kesibukan kerja di rumah majikan,” terang Siti Marfu’ah BMI asal Ponorogo ini.

Tak jarang, memang ada peserta yang membawa pulang bahan manik-manik untuk dikerjakan di rumah majikan. Karena mungkin saat mengikuti kursus di hari minggu, mereka tak cukup waktu untuk menyelesaikannya sehingga mereka bawa pulang. Dan ketika mereka menemui kesulitan dalam mengerjakan, mereka boleh minta bimbingan kembali minggu depannya.

Animo BMI
“Sebenarnya banyak yang berminat mengikuti kursus ini mbak, tapi terkadang kami terkendala waktu. Banyak yang harus dikerjakan jika hari minggu seperti ini. Rasanya waktu terasa cepat sekali berputar,” ujar Kutrix sambil sesekali membimbing peserta yang tampak kesulitan.

“Mereka begitu antusias belajar dan ingin mengubah nasib menjadi lebih baik dari sekarang, karena tak selamanya kita bekerja menjadi pembantu di luar negeri kan mbak?” sambung Siti Marfu’ah. Karena tekad untuk menjadi lebih baik itulah yang memotivasi mereka gigih belajar dan berusaha mengembangkan wirausaha kecil ini.

Wirausaha kedua BMI ini rupanya telah dilirik pengusaha di Jakarta dengan memesan beberapa pernak pernik untuk dipasarkan di Indonesia. Bahkan ketika mengikuti bazaar yang di selenggarakan sebuah organisasi di Hong Kong, keduanya sempat bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Agum Gumelar dan seorang tokoh bisnis di jagad kosmetika, Martha Tilaar.

“Beliau-beliau ini tertarik dan membeli beberapa souvenir kami, untuk oleh-oleh rekan-rekannya yang di Indonesia. Kemudian beliau juga berpesan, jangan lama-lama merantau di negeri orang. Selagi masih di Hong Kong, tuntutlah ilmu untuk bekal kelak jika kembali ke tanah air. Beliau juga bilang punya niat untuk mendidik atau memberikan pelatihan pada usaha kelas kecil hingga menengah,” jelas Kutrix BMI asal Trenggalek ini yang di amini oleh rekannya.

Keduanya kian bersemangat membangun dan terus berusaha bagaimana caranya menjadi pengusaha sukses. Tak surut langkah, walau masih terseok-seok dengan usaha kecil ini. Mereka selalu optimis bahwa nasib ada di tangan kita sendiri. Dari hari ke hari usaha kedua BMI ini kian maju pesat, peserta semakin banyak setiap minggunya. Order souvenir kreasi mereka pun terus meningkat.

Karena tempatnya di lapangan terbuka (Victoria Park), dan ramai lalu lalang orang yang berseliweran, tak jarang beberapa BMI yang tertarik dengan kegiatan ini. Salah satu BMI yang kebetulan lewat adalah Sugiarti (20), begitu antusias untuk bergabung. Dia langsung daftar dan langsung juga belajar dengan yang lainnya. Ternyata, di lapangan terbuka lebih menguntungkan untuk menarik minat kawan-kawan yang lainnya. Karena tidak usah menyebar brosur ataupun iklan. Jadi begitu ada yang tertarik, bisa langsung gabung.

“Silahkan siapa saja yang mau bergabung, kami tunggu. Bisa menghubungi, Siti Marfu’ah (51775358) atau Tri Winarni (61435237). Kami siap berbagi ilmu dengan kawan-kawan semua,” ujar Siti diakhir percakapan sambil tersenyum.

Ayo BMI Hong Kong, jangan takut untuk memulai usaha. Berwirausaha tidak harus bermodal jutaan. Yang terpenting tekad dan keberanian kita. Kedua BMI ini telah membuktikan. Kalau mereka bisa, kenapa kamu tidak? Tunjukkan pada dunia bahwa KAMU BISA!!!
Mereka yang kreatif dan inovatif

Ketika Sumiati Harus Melunasi Utang Temannya #Pelajaran Buat BMI-HK#


Awalnya, setiap kali bertemu dengannya, kami hanya saling melempar senyum. Karena kami memang belum kenal. Yang ku tahu, dia selalu mengantarkan makanan khas Indonesia untuk dititipkan di toko Indonesia  di kawasan Ma On Shan. Beberapa kali aku membeli makanan hasil masakannya. Terasa enak dan pas di lidah. Ketika suatu hari aku bertemu lagi dengannya, aku katakan bahwa masakannya lumayan enak.

"Masa sih mbak? kalau begitu beli tiap hari ya, biar penghasilanku bertambah," ujarnya. Lalu  kami ngobrol sejenak. Usut punya usut ternyata ibu dua anak ini tidak sengaja melakukan pekerjaan ilegal menurut peraturan perburuhan di Hong Kong. Dia berjualan makanan, walau dengan cara menitipkannya di beberapa toko Indonesia sekedar untuk menambah penghasilan karena kepepet.

Sumiati (bukan nama sebenarnya) seorang Buruh Migran Indonesia yang telah bekerja di Hong Kong selama hampir 4 tahun ini, menceritakan bahwa selama bekerja di Hong Kong,  gajinya habis buat membayar hutang-hutang pada dua buah perusahaan jasa peminjaman uang sekaligus.

"Aku ditipu teman baikku. Waktu itu dia datang kepadaku dan meminta tolong mencarikan pinjaman uang untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit keras di Indonesia," jelasnya. "Aku butuh uang 50 juta, tolong aku ya Mia," pinta teman baiknya sewaktu di PT  itu memohon dengan mimik yang memelas.

Karena merasa terharu dan kasihan pada Yuni (nama samaran) teman baiknya itu maka Sumiati pun berusaha mencarikan pinjaman kepada teman-temannya yang lain. Tapi uang 50 juta tidaklah sedikit. Tentu saja di antara teman-temannya tidak ada yang sanggup meminjami. Dan itu memang tidak mungkin. Akhirnya Sumiati menyerah dan mengatakan pada Yuni bahwa dia tidak bisa membantu mencarikan pinjaman.

Pada kesempatan lain Yuni, yang juga berprofesi sebagai buruh migran mengusulkan untuk meminjam uang pada perusahaan jasa financial dan Sumiati pun menyetujuinya dengan catatan dia hanya sebagai saksi dan diizinkan oleh majikannya. Sumiati yang bekerja pada keluarga Kong Mun Fai dan bertugas merawat seorang kakek yang lumpuh ini pun meminta izin pada majikannya dan kebetulan majikan dia baik hati. Izin didapat oleh Buruh Migran asal Sragen, Jawa tengah ini.

"Kebetulan waktu itu semua urusan berjalan dengan lancar dan pinjaman bisa dengan mulus didapat," terang Sumiati yang ternyata single parent ini. Dan setelah proses pinjam meminjam itu lambat laun Yuni susah di hubungi. Sebulan, dua bulan Yuni menghilang dari peredaran. Sampai bulan ketiga setelah transaksi pinjaman itu Sumiati di hubungi oleh petugas jasa financial, mereka menagih pembayaran cicilan hutang pada Sumiati. Perempuan 34 tahun ini hanya bisa melongo dan heran. "Kok bisa aku yang ditagih?" pikirnya.

Setelah petugas itu menjelaskan bahwa pihak pertama tidak bisa dihubungi dan telah jatuh tempo maka pihak kedua yang harus bertanggung jawab. Seketika itu juga Sumiati lemas tak berdaya. Dia baru tersadar kalau telah tertipu. Sumiati hanya bisa meneteskan air mata, menyesali kejadian ini. Nasi telah menjadi bubur.

Janda yang malang ini pun menceritakan nasib yang menimpanya kepada sang majikan. Sang majikan pun kaget. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya berpesan pada Sumiati untuk berhati-hati dalam memilih teman. Jangan mengatasnamakan setia kawan tapi akhirnya menjadi korban. Beruntung Sumiati tak di terminate oleh majikannya. Malah, Sumiati dianjurkan masak makanan Indonesia untuk dijual/dititipkan ke toko Indonesia di sekitar rumah. Menurut majikannya, Sumiati memang pandai memasak. Dan karena juga dia punya banyak waktu senggang. Praktis, ini menjadi solusi. Tapi tetap harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya, sesuai pesan majikannya. Sumiati pun menyanggupi.      

Mulailah Sumiati melakukan aktifitas ilegal ini. Ya, semua itu terpaksa dilakukannya demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya di Indonesia. Sumiati berharap tidak ada Sumiati lainnya di kemudian hari. Dan juga berpesan untuk selalu berhati-hati dalam berteman dengan orang sekitar kita. Karena, kawan pun bisa berkhianat.

21 July 2012

Bea Masuk dan KTKLN "ATM" Model Baru Untuk Melegalkan Pungutan Liar

Bea Masuk/Cukai
Beberapa minggu terakhir buruh migran dibuat kalang kabut terkait pemberitaan diberlakukannya Bea Masuk (BM) di bandara. Isu bea cukai ini begitu meresahkan bahkan menakutkan bagi beberapa buruh migran Indonesia (BMI). Ya, peraturan BM ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 188/PMK.O4/2010 tentang impor barang yang dibawa pelancong, pelintas batas, awak sarana pengangkut dan barang kiriman dari luar negeri. 

Peraturan ini berlaku sejak 29 Oktober 2010 lalu, tapi baru sekarang ramai dibicarakan. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk meningkatkan dan menyelamatkan produk dalam negeri. Atau mungkin saja sebagai pengganti pendapatan negara atas dibebaskannya bea fiskal mulai tahun ini. Sasarannya tentu saja para Warga Negara Indonesia (WNI) yang melancong keluar tak terkecuali BMI. Dan karena ketidaktahuan dan kurangnya sosialisasi inilah (khususnya BMI) beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi tersebut untuk praktek pungutan liar di bandara. 

Beberapa BMI sangat khawatir bahkan ketakutan dengan isu tersebut. Mereka khawatir akan terjadi pemerasan di bandara. Karena mayoritas BMI yang pulang ke tanah air membawa barang-barang elektronik yang mahal. Seperti handphone, laptop, dan kamera. Dan kadang barang-barang tersebut tidak cukup satu, karena bisa jadi beberapa teman menitipkan oleh-oleh untuk keluarga mereka di kampung halaman. Sebenarnya tak usahlah BMI terlalu dicekam ketakutan asal  tahu aturan-aturan yang berlaku dan tidak menyalahinya. Untuk penarikan pajak di bandara hanya berlaku bila barang bawaan melebihi di atas USD 250. Jadi dihimbau buat BMI untuk mengira-ngira barang bawaan saat pulang ke tanah air. Dan tetap berhati-hati dengan oknum yang tak bertanggung jawab yang berkeliaran di bandara. Be Smart!!

KTKLN
Belumlah usai huru hara mengenai bea cukai, muncul kembali huru hara yang lebih menghebohkan dikalangan buruh migrant. Isu tentang Kartu Tenaga Kerja Keluar Negeri (KTKLN). Kartu yang fungsinya masih dipertanyakan. Kartu yang katanya untuk perlindungan. Kalau alasannya sebagai perlindungan, perlindungan yang bagaimana? Dan dalam hal ini siapa yang paling diuntungkan? KTKLN bukanlah solusi perlindungan. KTKLN hanyalah sebuah alat untuk melegalkan praktek pungutan liar. Pada kenyataannya kartu tersebut hanya berisi biodata yang hampir sama dengan passport. Nama, tanggal lahir, alamat dan sebagainya sudah tertera dalam dipaspor. Bahkan alamat lengkap majikan yang mempekerjakannya.

Penolakan paling gencar dilakukan oleh BMI Hong Kong. Seperti yang terjadi di peringatan May Day lalu. Ribuan buruh turun  kejalan melakukan aksi penolakan KTKLN. Ironisnya, mengutip pernyataan Kepala Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), seperti  yang diberitakan salah satu media berbahasa Indonesia di Hong Kong, Jumhur Hidayat menyatakan untuk mendapatkan KTKLN tidak dipungut biaya alias gratis tapi harus mempunyai bukti asuransi dan Dana Pembinaan dan Penyelenggaraan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (DP3TKI). Nah lho? Katanya gratis tapi kok berbelit-belit. Apa itu tidak membingungkan? Kalau memang pemerintah mau melindungi BMI, ya jangan setengah-setengah. Anehnya, dalam undang-undang KTKLN disyahkan tahun 2004 lalu, namun gaungnya baru ramai terdengar tahun ini.dan disaat menjelang musim liburan/cuti para BMI ke tanah air. Nah! Ada permainan apa dibalik ini semua? Isu KTKLN menjadi momok tersendiri bagi BMI. Bahkan beberapa BMI HK membatalkan kepulangannya hanya karena kartu tersebut. Ajaib! Ketakutan dan keresahan BMI tersebut rupanya tercium oleh pihak-pihak yang mencari untung. Antara lain agen. Dari pihak agen menawarkan jasa pembuatan kartu tersebut dengan biaya HK$ 1200. Nominal yang tidak sedikit tentu saja dan memberatkan. Kembali BMI dihadapkan pada pilihan yang mencekik.

Lagi dan lagi. Pemerintah Indonesia selalu membuat kebijakan yang tidak pernah berpihak kepada rakyatnya. Kebijakan timpang dan memberatkan. Dan selalu yang lemahlah yang menjadi korban. Dalam hal ini BMI merasa menjadi bulan-bulanan pemerintah. Kalau memang itu untuk perlindungan BMI, mengapa perwakilan pemerintah di negara tujuan tidak mensosialisasikan pada BMI sedari awal? Supaya BMI tahu dan tidak merasa diperalat. Pengalaman beberapa BMI, dulu ketika baru datang ke Hong Kong dan memegang kartu KTKLN, oleh agen disuruh membuang kartu tersebut. Tetapi, mengapa kartu itu sekarang dicari-cari? Dan pada prakteknya pembuatan kartu tersebut tidaklah semudah yang dinyatakan oleh Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat. Untuk mengurus KTKLN hanya bisa dilakukan di tingkatan propinsi dan di kota-kota besar. Nah! Kalau seorang BMI tinggal di pelosok desa, apa itu tidak menyusahkan dan memberatkan secara biaya tidak resmi lainnya. Dan tentu saja itu sangat merugikan soal waktu khususnya bagi BMI yang sedang cuti ke tanah air, yang hanya mempunyai waktu mayoritas hanya 2 minggu.

Namun Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat berjanji pengurusan KTKLN akan dipermudah. Akankah janji Kepala BNP2TKI terwujud? Kita tunggu saja!!

KTKLN Perlindungan atau Bisnis (?)


Masalah Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), rasanya semakin pelik dan menakutkan bagi kawan-kawan Buruh Migran Indonesia (BMI). Entah mengapa pemerintah yang seharusnya melindungi justru semakin mempersulit keadaan. UU No 39 Tahun 2004 pasal 105 ayat (2) yang berbunyi,” Selain dokumen yang diperlukan untuk bekerja ke luar negeri, TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan harus memiliki KTKLN.” Dan pasal 62 ayat (1) yang berbunyi,” Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh Pemerintah.” Justru UU tersebut dijadikan ladang empuk bagi orang-orang yang berkepentingan pribadi belaka.

Karena ketidaktahuan BMI akan pasal-pasal tersebut di atas, maka kesempatan ini dimanfaatkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab untuk memeras kawan-kawan BMI. Dengan dalih untuk perlindungan maka mereka memaksa BMI untuk memilikinya. Sebenarnya tanpa dipaksapun, kalau itu sudah tertera dalam UU yang mewajibkan setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki KTKLN, sebagai warga negara yang baik pasti akan mematuhi peraturan tersebut, bila benar-benar dilaksanakan sesuai UU tersebut dan tidak merugikan. Misalkan saja seseorang yang bepergian ke luar negeri harus memiliki passport. Nah, karena passport memang diwajibkan dan memang dibutuhkan, maka dengan legawa, setiap orang yang pergi ke luar negeri pun memilikinya.

Berbeda dengan KTKLN. Dari sekian cerita pengalaman BMI yang pulang kampung, tidak satupun dari mereka yang merasa legawa mengurus KTKLN ataupun menghadapi oknum yang tak bertanggung jawabMereka membuat KTKLN pun bukan berdasarkan kesadaran yang mewajibkan memiliki KTKLN. Akan tetapi mereka membuat KTKLN karena merasa ketakutan dengan ulah oknum-oknum bandara atau mungkin hanya sekedar menyumpal mulut mereka agar diam.Dan anehnya pemerasan ini tidak hanya terjadi di bandara dan oleh orang luar, bahkan terjadi juga dalam birokrasi dan pelakunya adalah para birokrat itu sendiri. Dan ini sudah menjadi rahasia umum.

Belakangan ini banyak BMI yang ketika pulang kampung berusaha mengurus kartu tersebut. Dengan berbekal informasi yang mereka peroleh sebelum kembali ke tanah air, bahwa mengurus KTKLN bisa sehari jadi, dipermudah dan satu lagi yang digembor-gemborkan Ketua BNP2TKI, bahwa mengurus KTKLN gratis alias tidak dipungut biaya. Namun kenyataan di lapangan tidaklah begitu. Banyak BMI yang harus gigit jari, ngowoh, mangkel, nggrundel bahkan ngeyel berargumen dengan petugas pun tidak ada gunanya. Mereka terpaksa atau dipaksa (mungkin) tetap harus membayar sejumlah uang untuk segala tetek bengek persyaratan membuat KTKLN. Oh, sungguh aneh bila kartu KTKLN yang katanya untuk perlindungan tapi malah diperjual-belikan. Perlindungan adalah hak asasi bagi setiap warga negara tanpa memandang status sosial. Dan melindungi adalah kewajiban negara kepada seluruh warga.

Siapa yang lebih membutuhkan KTKLN? Pemerintah atau BMI? Jadi KTKLN itu bisnis atau perlindungan? Semua itu masih menjadi pertanyaan besar. Dan butuh kekuatan dari BMI sendiri untuk menguak rahasia besar dibalik KTKLN. Semoga!?

12 July 2012

Ngobrol Gayeng Bersama Ketua UP3TKI dan Ibu Nurul Dari LP2SDM Media Hati

Panggung gembira dari KJRI "untuk" KJRI.
Hari Minggu (8/7), saya tidak ada acara yang jelas, kosong. Begitu sampai di Causeway Bay, saya menelpon Rie Blora, kawan saya. Dia sudah ada di Victoria Park lebih awal. Segera saya menuju lapangan rumput, celingak celinguk di antara para buruh migran yang asyik dengan berbagai macam perlombaan. Ada lomba balap karung, makan kerupuk, makan jeruk dan lain sebagainya. 


Setelah bertemu dengan Rie, saya bertanya,"Acara apa ta iki Rie? kok ora ana woro-worone?" 
"Acarane KJRI, ra ngerti ye?"
"Oooo, KJRI "mantu" tah?"
Untuk acara hari minggu itu memang saya tidak tahu sama sekali. Karena biasanya pasti ada woro-woro, entah itu di situs jejaring sosial Facebook atau media berbahasa Indonesia di Hong Kong. Saya memutarkan pandangan ke segala penjuru lapangan rumput yang telah dipadati tenda. Tak ada celah kosong seperti biasanya, tenda berjajar penuh. Di antaranya tenda perbankan, UKM, dan beberapa tenda dari organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI). Untuk memuaskan rasa penasaran, saya berkeliling dari satu tenda ke tenda yang lain. Di sebelah kiri panggung semua tenda bertuliskan UKM (Usaha Kecil Menengah) dan semua memajang baju batik. Hari itu lapangan rumput Victoria Park, disulap menjadi pasar dan arena panggung gembira. Dari arah panggung, terdengar lagu iwak peyek. Tak heran jika mbak-mbak, terhipnotis dan ikut bergoyang. Sejenak lupa beban hidup.


Tak sengaja saya bertemu manager Tabloid Apakabar, Yuni Sze. "Yan...aku wawancaranen ta," guraunya. 
"Ada acara besar begini kok ga ada woro-woro tho mbak?" tanyaku
"Sebenarnya KJRI sudah menghubungi Apakabar, dan media lain tapi masa maunya gratisan wae, katanya ndak ada budget untuk iklan,  wong mengundang UKM wae isa kok pasang iklan ga ada budget.wis jan nuemen rek.
"Ha ha ha...."
"Aja ngguyu thok, ndang melu investasi kono lho, 15-60 jutaan untuk usaha minimart."
"Byuh, kok perasaan BMI-HK semakin dijadikan ladang empuk ya Mbak Yun."
"Ha ha ha....ya wis ati-ati, aku tak mbalik ke tenda sik ya."
[masalah investasi akan saya tulis lain waktu]


Saya kehilangan jejak Rie, ternyata dia berada di depan panggung, memotret. Tiba-tiba hujan turun, kami berlari menuju ke arah 2 tenda tak berpenghuni. Membaca banner-nya yang menarik perhatian, bertuliskan tentang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), wah kebetulan. Saya dan Rie rie, berteduh di situ sambil sesekali motret. 
"Mbak, ini orangnya kemana ya? kok 2 tenda dibiarkan kosong?" tanyaku pada penjaga stan sebelah. Dan dia cuma angkat bahu.


Beberapa menit, muncul seorang wanita berpakaian batik menyapa kemudian memperkenalkan diri,"Ada yang bisa dibantu mbak? Saya Ibu Nurul dari Lembaga Media Hati. Juga pemilik sebuah PJTKI di Surabaya." 
"Boleh saya bertanya-tanya seputar KTKLN, Bu?"
"Silakan..." 
"Begini Bu, kenapa membuat KTKLN itu susah/ribet sekali?"
"Lewat PT mana?"
"Kalau PT saya sudah tutup Bu, ini hanya menyampaikan keluhan kawan-kawan yang bermasalah ketika membuat KTKLN. Karena saya pribadi belum pernah membuat KTKLN. Tetapi, melihat dan mendengar keluh kesah kawan-kawan BMI kok saya jadi ikutan "gemes". Apa dan bagaimana sih pembuatan KTKLN itu Bu?"
"Kamu datang saja ke kantor dengan membawa persyaratan yang telah ditentukan selanjutnya akan kami proses. Nih, baca ya..." katanya sambil menyerahkan brosur pembuatan KTKLN dan juga kartu namanya. 
"Tapi kenapa ya bu, petugas UP3TKI itu suka berbelit-belit jika dimintai informasi?"
"Maksudnya?"
"Begini, Misalkan saja kami datang ke kantor, mereka menjelaskan informasi yang sepotong-sepotong. Kenapa tidak dijelaskan secara runtut dan gamblang sehingga kami tidak harus bolak-balik. Kok kami itu seperti bola saja, dilempar ke sana sini. Itu kan memakan waktu dan biaya juga tho Bu? Sudah begitu pelayanannya sangat tidak memuaskan. Kami itu di negeri sendiri kok ndak dihargai blas ya."
"Lain kali kalau ada petugas seperti itu, catat nama, kalau perlu foto juga orangnya. Kami sudah mengeluarkan 4 orang oknum yang tak bertanggung jawab. Kami akan berusaha memaksimalkan kinerja. Untuk lebih lanjut kita tunggu saja Pak Hariyadi, ketua Unit Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UP3TKI)."
"Terus, sosialisasi tentang  KTKLN itu kok kurang maksimal dan sepertinya KTKLN berlaku musiman saja ya."
"Siapa bilang? sekarang di Indonesia lagi ramai kok. Saya sudah kesini 3 kali, terakhir kali bersama ketua  SBMI, siapa itu? lupa namanya."
"Moch Cholily..." 
"Ya, itu. Tapi saya hanya sosialisasi di lapangan saja, bertemu langsung dengan mbak-mbak."
 "Waktu ketua SBMI ke Hong Kong, saya ada bersamanya tapi kok saya tidak melihat ibu ya? Kalau sekarang lagi ramai masalah KTKLN, ya wajar, karena  bulan 7-8  kan musim BMI  cuti. Di luar itu sepi saja kan Bu?"
"Oh, itu tidak benar. Kan sudah saya katakan tadi bahwa saya hanya di lapangan saja tidak ke shelter seperti yang dilakukan Mas Cholily."
"Berarti ibu ke Hong Kong bukan untuk sosialisasi ya? atau hanya menemui "anak-anak" ibu? kalau yang begitu banyak Bu."
Brosur Mekanisme Permohonan KTKLN.




Ibu Nurul tidak menjawab, tetapi beranjak ke stan sebelah karena datang 2 orang BMI. Bersamaan dengan itu, datanglah orang yang kami (saya dan Rie) tunggu, ketua UP3TKI Mulailah Rie beraksi. Ikuti di sini http://babungeblog.blogspot.hk/2012/07/tentang-ktkln-bersama-ketua-up3tki.html. Sesekali saya masuk ke obrolan mereka.
"Bagaimana cara menghadapi oknum yang tak bertanggung jawab itu Pak?"
"Kamu laporkan saja, pasti nanti kami tindak lanjuti."
"Bagaimana kami bisa melapor, Pak. Sedangkan masalah KTKLN biasanya muncul menjelang keberangkatan ke negara tujuan. Kan waktunya sudah mepet, yang ujung-ujungnya adalah minta uang damai. Apakah bapak tahu itu?"
'Ya, saya tahu. Kami sedang menertibkan oknum semacam itu. Malah ada yang melaporkan seorang petugas menerima uang, ketika saya konfirmasi, dia bilang kalau uang itu sebagai kenang-kenangan. Kalau begitu kan saya tidak bisa sembarangan menuduh. Dan ada lagi yang melapor katanya dimintai uang 1 juta untuk pembuatan KTKLN, lagi-lagi saya konfirmasi dan menurut petugas itu adalah biaya transport dan mengurus yang lain-lain. Jadi itu bukan biaya membuat KTKLN. Nah! iki kan laporane simpang siur, aku rek sing repot."
"Lho? bisa juga itu sebagai dalih tho Pak? Kalau uang transport dan lain-lain saja menghabiskan segitu, ya berarti boleh dibilang itu juga biaya dalam rangka mengurus KTKLN. Untuk menghindari fitnah, saat menjalankan tugas, staff/petugas mbok ya tidak menerima apa pun."
"Tanpa mbak minta, kami juga melakukan itu. Untuk menertibkan petugas dan banyaknya calo maka pembuatan KTKLN di Juanda kami tiadakan."
"Apanya yang ditiadakan Pak? KTKLN-nya? Bagus dong Pak." 
"Bukan, yang ditiadakan formulir dan mesin pembuatnya. Karena menurut pantauan kami, banyak formulir yang dijualbelikan oknum tak bertanggung jawab. Bahkan di KJRI-HK pun kami tiadakan. Jadi untuk membuat KTKLN, ya harus datang ke kantor."
"Apa sih fungsi dari KTKLN Pak?"
"Fungsinya untuk mendata tenaga kerja luar negeri."
Ketua UP3TKI, Bapak Hariyadi Budihardjo.
"Bukankah sudah ada passport Pak? Trus kalau terjadi kesalahan seperti kasusnya (Rie) bagaimana Pak?"
Kesempatan Rie bicara, terlihat antusias sambil membanting-banting HP sebagai ekspresi kekecewaannya. Aku diam sambil mengarahkan pendangan ke panggung. Kebetulan wartawan koran Suara (Abdul Razak) lewat, aku berlari mengejarnya dan menarik dia untuk ikut ngobrol. Sayang kalau berita ini lewat begitu saja. Hanya sekitar 10 menit setelah memotret moment itu, Bang Razak pergi karena masih ada tugas lainnya. Dari arah panggung group band The Changcuters berteriak-teriak ga jelas dalam cuaca yang ga jelas pula. Obrolan semakin seru tanpa titik temu. Muleg!!


Kemudian datang lagi sepasang pengusaha yang mampir ke stan di mana saya dan Rie berada. Tiba-tiba Bu Nurul berdiri dan menyalami kami dan mengucapkan terima kasih. Sebelum kami membalasnya, saya meminta kartu nama Pak Hariyadi, tetapi sigap Bu Nurul mencegahnya dengan berbahasa yang tidak kami mengerti (Perkiraan kami adalah bahasa Madura). Saya dan Rie berpandangan, membalas jabat tangan, berterima kasih kemudian pergi. Beberapa meter dari tenda, kami ngakak bersama, gemblung!!












09 July 2012

# 3 # Siapa BiLang Jadi TKW Itu Enak? (AKU BUKAN "ATM")

"Dancuk!!! Rumangsane aku iki neng Hong Kong gak butuh duit tah?” Dikirimi pira-pira kok panggah kurang wae, jan-jane apa toh sing dituku wong ngomah ki? Aku ngrasakne kok kelar mumet. Masa kebutuhane ngluwihi kebutuhane sing kerja. Rumangsane aku ki apa ATM ngana pa piye? Tak belan-belani kirim, jebule digawe selingkuh. Sapa sing ora mangkel?" Seorang mbak terlihat emosi setelah menyudahi obrolan di telpon, entah dengan siapa.
"Sabar ta mbak…" sahut yang lain.
"Owalah, nasibmu kuwi kok meh padha karo aku ta Yu, aku iki ya bola bali kapusan duwit wae. Aku wonge ora mentalan dadi  ya kuwi sing marai aku diakali kanca-kancaku dhewe. Nek wis ngene ki jan muangkel. Biyen nyilihe duwit penak, la barang saiki wayahe mbalekne diicir wae marai dhuwitku mawut. Sing marake nesu maneh dadak ora kenek ditelpon tiba tanggale, tambah nemene ngenteni ditagih dhisik. Arep ora nesu ki ya piye jal?" Suara lain ikutan menyeletuk.

Begitulah obrolan saur manuk  yang sering terdengar di Toko Indonesia. Terlihat beberapa Buruh Migran Indonesia (BMI) bergerombol, saling bertukar cerita atau sekedar mengungkapkan kekesalannya.  Tak jelas awal mulanya, cerita mengalir begitu saja. Ketika salah satu dari mereka memulai cerita, yang lain akan sambung menyambung bercerita. Maka terjadilah obrolan yang seru antara mereka walau tak saling kenal.Sepintas obrolan seperti itu sudah biasa dan sering terdengar di mana-mana. Sesekali diselingi guyonan, tetapi lama kelamaan mulai serius menceritakan atau bertukar cerita masalah masing-masing. Berbicara mengenai persoalan uang, seakan tak ada habisnya. Selalu saja ada cerita berbagai versi bermunculan. Tak sedikit BMI yang mengeluh mengenai uang. Entah karena utang atau karena selalu dijadikan “ATM” dari keluarga bahkan tetangga pun ikut-ikutan (pinjam duit) dalam jumlah yang tidak sedikit. Misalkan buat Mantu atau mungkin sunatan yang umumnya dirayakan gedhe-gedhean. Di kampung juga lazim, jor-joran antara yang satu dengan yang lain. Kebacut tenan!!

Orang awam di Indonesia sana, mungkin selalu berpikir kalau bekerja di Hong Kong selalu berlimpah uang. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Dengan gaji HK$ 3740 (sekitar Rp 4.547.840, tergantung kurs) itu juga bagi yang digaji full, seorang BMI harus pandai mengatur keuangan. Berapa yang mesti dikirim ke keluarga, berapa untuk kebutuhan diri sendiri di Hong Kong dan berapa pula yang masuk ke rekening tabungan. Bagaimana pun BMI harus punya tabungan untuk keperluan tak terduga atau masa depannya. Jadi kalau orang berpikiran BMI banyak uang, itu bisa salah bisa juga benar. Toh semua itu hanya sawang sinawang saja.

Mendengar dan melihat keluh kesah mereka, sangat terasa bebannya. Ketika mereka dimintai sejumlah uang dengan nominal yang tidak sedikit. Apa keluarga mereka tidak tahu atau tak mau tahu bahwa gaji BMI tak lebih dari HK$ 3740, bahkan masih ada yang digaji HK$ 1800-2000 (gaji underpayment yang menyalahi peraturan HK), tetapi mengapa ada yang meminta lebih dari itu? Bisa dimaklumi jika kebutuhan mendesak, karena ada keluarga yang sakit atau apa. Namun, kalau untuk kebutuhan jor-joran, apa itu bukan suatu beban? Kalau sudah begitu, darimana BMI mendapat uang kalau tidak ngutang sama teman atau perusahaan financial? Nah! Kalau sudah berurusan dengan utang/uang, urusan bisa semakin pelik. Masalah utang piutang, kadang datang dari tuntutan keluarga di IndonesiaSebenarnya berhutang pada perusahaan financial yang ada di Hong Kong, tak ada salahnya buat BMI asal mereka punya tanggung jawab. Namun, perlu digaris bawahi, BMI HK terikat kontrak kerja. Dan sebagai BMI kita tak pernah tahu akan nasib. Jadi, akan lebih baik kalau dihindari sebisa mungkin untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. 


Terjerat utang pada perusahaan finansial, bukan perkara sepele. Jika tidak punya rasa tanggung jawab dan kesadaran terhadap kewajiban, urusan bisa melebar kemana-mana. Sering terjadi, berimbas kepada si pengutang. Diterminate sebelum berakhir masa kontrak kerja. Kalau sudah begitu, siapa yang kelabakan? Diri sendiri kan? Di Hong Kong, banyak BMI terjerat utang, saling menipu sesama BMI, dan masih banyak lagi. Kejadian ini sudah sering terjadi, tapi entah kenapa masih saja terus terjadi. Belakangan muncul penipuan via sms yang mengabarkan menang undian sekian puluh juta, bahkan kian marak terjadi. 


Rupanya BMI-HK adalah sasaran empuk bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Semakin banyak juga tawaran investasi yang menggiurkan. Dan sayangnya banyak juga yang terlena oleh tawaran semacam itu. Sebaiknya pahami dan pelajari dulu apa yang ditawarkan. Berpikir seribu kali belum mengambil keputusan yang mungkin bisa merugikan dan menyesal dikemudian hari. Tetapi, jangan takut mencoba hanya berhati-hatilah.

07 July 2012

Cerpen berdasarkan kisah nyata seorang BMI-HK berjudul "Sebuah Pilihan"


Sudah lama aku menunggu taksi, tapi tak satu pun taksi lewat. Sial!! Padahal, aku harus segera tiba di rumah majikan baru. Siang tadi Mr Lam melalui telepon berjanji menjemputku di pintu gerbang pukul 8 malam. Ini hari Minggu. Seharusnya banyak yang menggunakan taksi karena lebih nyaman ketimbang berdesakan dalam transportasi umum lain. Tapi, kemana perginya taksi-taksi itu? 

Aku berdiri di pinggir jalan seorang diri dengan travel bag besar di sebelahku, tak kunjung ada taksi lewat. Ketika aku sedang berpikir untuk menggunakan transportasi lain, tiba-tiba ada sebuah taksi. Berharap tak ada penumpang, aku pun menyetopnya. Setengah jam kemudian aku sampai di alamat Mr Lam. 
Aku masih asing dengan tempat ini. Memutarkan pandanganku pada sekeliling dan mencoba menerka-nerka. Aku tersadar dari lamunan dan baru teringat Mr Lam yang mungkin telah lama menunggu. Segera ku hubungi nomer HP yang dia berikan sesaat setelah tanda tangan kontrak di agen 2 pekan lalu.
"Hallo," suara Mr Lam.
"Hallo, Tuan. Ini Mina," jawabku.
"Oh, hai...apakah kamu sudah sampai?" tanyanya.
"Ya, aku sudah berada di bawah apartemen. Bisakah Tuan turun menjemputku karena penjaga gerbang tidak mengizinkan aku masuk?" pintaku kepada Mr Lam.
"Ok, tunggu beberapa menit."
"Baik Tuan." 

Di Hong Kong tidak semua orang bisa mengakses ke dalam sebuah apartemen. Penjagaannya sangat ketat dan di mana-mana kamera CCTV on 24 jam. Jadi, terpaksa aku minta Mr Lam menjemput di bawah apartemennya. Tak lama, Mr Lam datang. Sambil tersenyum, aku minta maaf karena terlambat. Sekilas aku menangkap kesan Mr Lam orang yang ramah. Semoga majikanku kali ini baik hati, doaku. Ini adalah kontrak ketiga ku di Hong Kong. Kali ini aku bekerja di Central District tepatnya di Mid-Levels.

Kami masuk lift yang membawa kami naik ke lantai 25. Keluar dari lift aku mengikuti langkah Mr Lam, menuju pintu bernomor 25 B. "Selamat datang di rumahku Mina." Aku tersenyum saja mengiyakan ucapan lelaki berumur setengah abad ini. Tuanku ini tinggi besar, penuh wibawa, berwajah ramah dan murah senyum. Mr Lam  menunjukkan kamarku dan menjelaskan ala kadarnya lalu meninggalkanku. Tapi sebelum mencapai pintu, dia berbalik dan berkata,"Mina, beritahu aku kalau kamu butuh sesuatu!" 
"Baik, Tuan," jawabku.

Kupandangi kamar ini. Di pojok kamar ada sebuah almari dan di sebelahnya ada meja kecil dengan kursi. Ada pula kamar mandi di dalam. "Ehmm, lumayan," pikirku.
Segera ku bereskan baju-bajuku. Saat memindahkan baju, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Mrs. Lam. Kemanakah dia gerangan? Kenapa dari tadi tak menampakkan diri? Atau dia sedang keluar?
Entahlah, aku merasa aneh. Seribu pertanyaan berkecamuk. Tapi ah, biarlah. Yang penting aku sudah di rumah majikan baru. Kenalan dengan nyonya kan bisa besok pagi. Batinku menepis segala pertanyaan yang ada di kepalaku. Lalu aku bergegas mandi dan setelah itu aku istirahat buat persiapan stamina karena besok adalah hari pertama kerja.

*****
 Pukul 5.30 pagi aku terbangun, bergegas ke kamar mandi. Sambil menunggu majikan bangun, kubuat secangkir kopi. Tak lama Mr Lam bangun, membuka pintu dan berjalan terseok menuju dapur. Dia menyapaku dengan mata masih setengah terpejam.
"Selamat pagi, Mina. Tolong bikinkan aku kopi juga ya."
"Selamat pagi. Baik, Tuan."
Tapi aku tak tahu di mana kopi disimpan. Aku belum tahu benar seluk beluk rumah ini. Ku beranikan diri bertanya pada Mr. Lam. Sebelum berlalu, dia menjawab," Semua kopi dan teh serta minuman instant lainnya ada dalam laci di sebelah kulkas itu." 
Masih setengah bingung aku berusaha mencari yang dimaksud. Akhirnya ku temukan juga. Segera kubuat kopi. 


Tak berapa lama Mr Lam keluar dari kamarnya. Rapi dan siap berangkat ke kantor. Segera ku sajikan kopi pesanannya. Mr Lam tersenyum dan menyuruhku duduk. Aku merasa sungkan bila harus duduk dengannya. Dan tuanku itu menangkap gelagatku.
"Tak apa-apa Mina, duduk saja. Aku ingin berbicara padamu."
"Baik, Tuan."
" Kamu tahu? Aku punya dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki sekolah di Kanada. Dan yang perempuan, masih menginap di rumah neneknya bersama istriku. Nanti malam mereka pulang. Jadi, setelah aku ke kantor, sebaiknya kamu bersihkan rumah. Okey?"

Mr Lam menjelaskan panjang lebar sambil berdiri dari duduknya. Kemudian membawaku keliling ruangan, menjelaskan seluk beluk tentang rumahnya. Rumah dengan luas 1900 square feet ini lumayan gedhe untuk 3 orang dan cukup luas untuk ukuran apartemen di Hong Kong. Ada tiga kamar, satu master room lumayan luas lengkap dengan toilet. Kamar sebelahnya, kamar anak perempuannya yang berumur 13 tahun. Begitu pintu di buka aku tersenyum melihat sekeliling kamar itu. Semua bernuansa pink dengan soft toys di sana sini. Lumayan rapi untuk ukuran anak Hong Kong. Kelihatan dia mandiri. Lalu beralih ke kamar anak laki-lakinya tapi berhubung dia tidak ada, kamar ini beralih fungsi menjadi ruang kerja tuanku. Di rak terjejer rapi buku-buku tebal berbahasa China.
Mr Lam melirik rolex di pergelangannya. Aku pun melirik jam dinding, jam 08.30, tuanku segera pamit. "Mina, i have to go now. See you later. Bye...bye..."
"Yes Sir, See you laterBye..bye..."

Tuan pergi, aku pun segera mengerjakan tugasku membersihkan rumah sebagaimana biasa yang kulakukan di rumah majikan sebelumnya. Di ruang tamu, semua perabotan serba lux terbuat dari kristal. Ku bersihkan semua, sambil sesekali memperhatikan foto-foto yang dipajang. Ku perhatikan foto keluarga ini, ehmm...mungkin ini nyonyaku, gumamku dalam hati, ketika aku melihat seorang wanita gendut berfoto bersama tuan dan anak-anaknya. Ku amati wajahnya, wajah antagonis. Matanya melotot besar karena kaca minus terlalu tebal. Tak ada senyum di sana. Ah, segera ku tepis bayangan tentang nyonya. Semoga saja tidak seperti itu. Aku bersenandung kecil untuk menghalau resah.

Aku berusaha melakukan yang terbaik walau hanya bekerja sebagai pembantu. Aku hanya butuh waktu 3 jam untuk membereskan rumah ini. Setelah selesai, aku bingung mau mengerjakan apalagi. Aku ambil buku-buku yang kubawa dan mulai membaca untuk membunuh waktu. Ketika aku tenggelam dengan bacaan, telepon rumah berdering.
"Hallo..." kataku
"Hallo, Mina. Ini aku Mr. Lam, aku hanya ingin memberitahumu, malam ini kami tidak makan di rumah. Kamu masak buat kamu sendiri ya. Bye-bye..."

Malam yang ku tunggu tiba, tepat jam 8 malam Mr Lam beserta istri dan anaknya pulang. Aku menyapa mereka dengan ramah,"Hallo..."
Tuan tersenyum, nyonya datar saja, Sedangkan anaknya tertawa riang. Anak ini kelihatan senang sekali, seolah dia punya teman baru yang bisa diajak bermain. Aku pun senang dengan sikap dia yang mau menerimaku di rumah ini. Nyonyaku entah mengapa hanya melirikku sekilas tanpa senyum lalu beranjak ke kamar dan tak keluar lagi. Mungkin dia capek, aku menghibur hati.
*****
Waktu terus mengalir tanpa sadar, aku sudah 7 bulan bekerja dengan keluarga Lam. Awalnya semua baik-baik saja. Tapi sebulan belakangan ini hubunganku dengan nyonya retak. Suatu malam sepulang kerja, nyonya menemukan sekelopak bunga anggrek kesayangannya jatuh. Dia marah sekali.
"Lihat ...." ujarnya, sambil menunjuk pada kelopak anggrek yang jatuh.
"Kenapa kelopak bunga ini terjatuh?" tanyanya.
"Maaf, aku tidak tahu nyonya, mungkin sudah layu dan kering." jawabku
"Bagaimana kamu tidak tahu? Kamu di rumah seharian, apa saja yang kamu lakukan?" 
"Ya, aku memang seharian di rumah tapi apakah aku harus  memelototi bunga itu? Bunga layu lalu gugur, itu hal yang biasa kan nyonya?"
Nyonya kelihatan tidak suka dengan argumenku. Dengan tatapan menghujam dan emosi tertahan dia berlalu. Ada apa dengan nyonya hari ini? Mungkin ada masalah yang dia bawa dari kantor, pikirku. Nyonya seorang marriage consultant di gereja. Yang aku dengar, orang yang bekerja sebagai penasehat perkawinan, emosinya cenderung labil. Dia mudah stress dan depresi, karena terlalu banyak kasus yang dihadapi dan perlu pemecahan.

Sejak saat itu hubunganku dengan nyonya kian memburuk. Apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Komunikasiku putus sama sekali dengan nyonya. Kami berkomunikasi lewat tulisan layaknya orang bisu. Bila nyonya ingin aku mengerjakan sesuatu, dia akan menempelkan sebuah kertas pesan di tempat yang dia inginkan, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Suatu hari aku pernah mencoba membangun kembali komunikasi dengan nyonya tapi fatal akibatnya. Dia ngamuk tak karuan sebabnya. Semua yang ada di hadapannya melayang. Aku takut, saat itu tuan tidak ada di rumah. Dia sering bepergian keluar negeri untuk urusan bisnis. Tuan tidak pernah tahu perlakuan nyonya terhadapku. Setiap kali pulang dari luar negeri, tuan akan mendekatiku dan bertanya,"Are you ok?"

Sebenarnya aku sudah lama penasaran, kenapa tuan selalu bertanya demikian. Hingga suatu hari tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang bikin kaget. Inikah jawaban dari ganjalan hatiku? Aku menemukan beberapa kontrak kerja di saat aku membersihkan laci penyimpanan arsip keluarga ini. Aku benar-benar kaget. Ternyata keluarga ini telah 14 kali ganti pembantu dalam 8 tahun. Bagaimana bisa dalam 8 tahun ganti pembantu sampai 14 kali, padahal per kontrak adalah 2 tahun? Kaget, bingung, sedih, takut berbaur menjadi satu. 

Berdebar aku menunggu Mr Lam pulang. Aku harus mengungkap apa yang tersembunyi dalam keluarga ini, tentang kontrak-kontrak itu. Tuan pulang, aku sambut dia seperti biasa. Setelah makan malam, aku mendekati tuan," Maaf Tuan, apakah tuan ada waktu? Aku ingin bicara sesuatu."
"Oh, ya pasti. Apa kamu ada masalah?" 
"Boleh aku tahu, kenapa di keluarga ini seringkali ganti pembantu sebelum habis masa kontrak?" Mr Lam terperanjat kaget. Dia diam sejenak, lalu menatap hampa ke sekeliling ruangan. Namun, akhirnya Mr Lam bercerita bahwa istrinya sering stress berlebihan. Hubungan tuan dan nyonya pun ternyata tak semulus yang tampak di depan mataku selama ini. Mereka juga sudah lama tak berkomunikasi. Tentu saja aku tak menyangka akan hal ini. Sebab di depan saudara-saudaranya, mereka tampak mesra. Tapi semua keluarga dari pihak tuan sudah tahu semua masalah di rumah ini.
"Itulah mengapa mereka tidak betah kerja di sini, tak seorang pun yang bisa mengerti sikap istriku. Bahkan, pada ibuku pun, sikapnya sama seperti pada kalian," lanjut tuan.
"Bagaimana denganmu, Mina? Apakah kamu mau menyelesaikan kontrakmu dengan kami?" tanya tuan kemudian. 
Aku hanya menggelengkan kepala dan mengangkat bahu. Aku sendiri bingung harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menyelesaikan kontrak, sedang aku sangat tersiksa dengan sikap nyonya. Dia selalu mengintimidasi aku, selalu membuatku tak berdaya. 


Akhirnya aku menceritakan semua kejadian selama tuan tak berada di rumah. Tentang perlakuan nyonya yang tidak memanusiakan aku. Tentang bagaimana dia berkomunikasi denganku. Tuan tidak kaget sedikit pun karena dia sudah hafal betul istrinya. Memarahi pembantu tanpa ampun. Aku juga bercerita semua perlawananku pada nyonya. Tuan tak mampu lagi berkata.


 *****
Minggu pagi yang cerah, aku pergi berlibur bersama teman-teman dari kampung halaman. Kami pergi ke Causeway Bay atau juga yang di sebut "Kampung Jawa". Di sana biasa kami melepas penat setelah sepekan bekerja. Seharian aku bersama, makan, tertawa, bercerita tentang keluarga di Indonesia. Tak jarang kami menangis bersama pula. Terasa sekali rasa kekeluargaan di sini. Walau jauh dari keluarga tapi kami berusaha saling berbagi kebahagiaan.

Senja pun datang. Itu artinya kami harus berpisah dan kembali ke rumah masing-masing majikan. Jam 19.00 aku stand by menunggu bis yang menuju jalur rumahku. Setengah jam telah berlalu tapi bis yang ku tunggu selalu penuh. Jengkel aku dibuatnya. Setiap hari minggu bisa dipastikan semua transportasi penuh sesak. Aku mendapat bis setelah satu jam menunggu. Segera aku meloncat masuk berharap bis melaju dengan cepat.
Aku tiba di halte bis di bawah apartemen, 20 menit kemudian. Bergegas aku menuju apartemen. Jam tanganku menunjuk angka 08.05. Aku telat 5 menit. Pelan kubuka pintu. Nyonya ternyata duduk di sofa. Kusapa dia, tapi diam seribu bahasa. Aku pun cuek dan ngeloyor ke kamar. Tapi teriakan "Stop!" menghentikan langkahku. Berputar, kemudian bertanya,"Ya Nyonya, ada yang bisa saya bantu?"
"Kemana saja kamu?" dia balik bertanya, tumben berbicara padaku.
"Nyonya lupa hari ini hari minggu? Tentu aku keluar bersama teman-temanku. Ada masalah Nyonya?" jawabku santai.
"Kenapa kamu terlambat?"
"Terlambat? Oh, maaf. Ya, aku terlambat tapi cuma 5 menit. Apa itu masalah besar bagimu? Bagaimana di hari kerjaku, Nyonya? Kadang aku bekerja sampai jam 2 dini hari, tapi apa pernah aku komplain?"
Aku berargumentasi panjang lebar, nyonya semakin ngamuk, tapi aku tak peduli. Aku tak akan diam kali ini, aku sudah tak tahan. Mr Lam hanya diam, dia tak akan berani membela siapapun. Dia terlalu lemah di hadapan istrinya.

Tiba-tiba nyonya melemparkan sesuatu ke arahku. Refleks aku berkelit. Emosiku pun memuncak. Dengan suara lantang aku berkata,"Dengar Nyonya, aku tak akan tinggal diam kali ini, ini sudah keterlaluan. Kalau Nyonya tidak suka aku bekerja di sini, kenapa tidak berterus terang? Jujur, aku pun sudah tidak tahan dengan semua perlakuanmu. Nyonya pikir aku ini binatang? Kalau Nyonya ingin dihormati, hormatilah orang lain. Atau setidaknya hormati diri sendiri. Aku ini juga manusia Nyonya, sama sepertimu. Aku punya emosi, punya perasaan. Kalau disakiti, aku pun bisa marah. Aku tahu kenapa Nyonya lakukan ini, karena Nyonya pikir aku hanyalah pembantu bodoh. Asal Nyonya tahu, Aku bisa saja melaporkan Nyonya ke Imigrasi Hong Kong untuk mem-black list keluarga ini agar tak bisa mengambil pembantu dari Indonesia, tapi itu tak aku lakukan karena aku masih punya rasa kemanusian. Dan asal nyonya tahu, aku diam selama ini bukan berarti aku bodoh tapi aku hanya menunggu waktu yang tepat dan saat inilah waktunya. Maaf Nyonya, sudah lama aku berpikir untuk memutuskan kontrak kerja ini."

Mr Lam kaget mendengar keputusanku, tapi apa boleh buat aku sudah tak tahan dengan perlakuan istrinya yang keterlaluan. Ibarat aku telah lama menyimpan bisul dan hari ini bisul itu pecah. Terlalu lama batinku tertekan. Mengakhiri masa kontrak sebelum waktunya, ini sudah menjadi keputusabku. Aku  juga tidak melaporkan  kejadian ini pada agen atau pun KJRI HK, toh mereka juga tidak akan berpihak pada buruh migran.


*****
Senin pagi aku sengaja menunggu tuan di ruang tamu untuk menyerahkan surat peringatan satu bulan sebelum pemutusan kontrak kerja. Dengan sedih tuan menerima keputusanku. Hari-hari kulalui dengan berat dan penuh siksaan dari sang Nyonya dan aku hanya bisa menangis. Tapi biarlah dia berbuat semaunya, tinggal sebulan lagi aku bekerja di rumah ini. Terasa waktu berputar pelan sekali. 

Akhirnya hari yang ku nanti tiba, hari kebebasanku. Waktunya aku keluar dari neraka ini.
Segera aku bersiap diri. Detik berlalu berganti menit dan dimenit-menit terakhir inilah aku merasa sedih. Aku teringat segala kebaikan tuan. 

Jam 07.00 tuan bangun kemudian memanggilku untuk menyelesaikan semua tuntutan yang harus dipenuhi. Uang satu bulan gaji, tiket, dan uang transport ke bandara. Setelah beres, tuan berbicara dengan sedih.
"Mina, aku minta maaf atas segala perbuatan istriku."
"Sudahlah Tuan, lupakan saja. Kita saling memaafkan. Tak ada manusia yang sempurna bukan? Maaf Tuan, aku harus pergi."
"Hati-hati Mina."
"Baik, Tuan."
Aku melangkah keluar dari rumah ini. Ku seret travel bag. Baru tiga langkah aku berjalan, tuanmemanggilku. Dengan suara bergetar dia berucap,"Sekali lagi aku minta maaf Mina, Aku berharap ke depannya kamu mendapatkan yang lebih baik."
"Terima kasih Tuan, aku juga minta maaf bila ada salah yang aku sengaja ataupun tidak aku sengaja. Aku pergi, Tuan, bye..bye..." kataku sambil masuk ke dalam lift.
Masih sempat ku dengar Mr Lam membalas ucapan perpisahanku.

Tiba di basement, aku segera mencari bis yang menuju ke bandara. Tak lama kemudian aku sudah berada dalam bis. Ku hempaskan tubuh ini ke kursi. Ku pejamkan mata ini mencoba untuk tidur walau sejenak. Satu jam kemudian bis telah tiba di bandara Chek Lap Kok. Segera aku chek-in. Sebelum aku masuk, sekali lagi kutoleh ke belakang. Yah, aku benar-benar meninggalkan Hong Kong.
"Selamat tinggal Hong Kong. Aku pulangggg...."







04 July 2012

# 2 # Siapa Bilang Jadi TKW Itu Enak? (Diskriminasi)

Setelah lelah beraktivitas pada hari minggu [1/7] kemarin, aku dan teman-teman Teater Angin (TA) bermaksud mencari makan di sebuah restaurant Vietnam. Sambil jalan menuju restaurant, aku memotret sisa-sisa para demonstran warga lokal Hong Kong, ditemani Teh Imas. Sedangkan Lia dan Teh Noena berjalan di depan. Begitu masuk restaurant, sambutan pelayannya sangat tidak ramah. Mereka tahu karena kami hanya pembantu/Buruh Migran Indonesia (BMI). Kami tak begitu menghiraukannya dan segera mencari tempat. Di pojokan ada meja berkursi empat, pas! Di meja sudut itulah kami duduk. 


Setelah membolak-balik buku menu, kami pun memesan sesuai selera masing-masing. Agak lama juga menunggu pesanan datang. Kami melanjutkan diskusi yang terpenggal. Ketika tengah asyik berdiskusi, HP Lia berdering. Meme (begitu kami biasa memanggil Mega Vristian sebagai mbok-e TA) menanyakan di mana posisi anak-anak TA. Kami senang, tambah lagi satu orang pasti makin seru diskusinya. Begitu tiba di restaurant, Meme ga dapat tempat duduk, karena kursi pas untuk 4 orang. Aku mengalah, mencari tempat lain yang berdekatan. Kebetulan di belakangku ada seorang bule duduk sendirian dan ada kursi kosong di depannya. 


Meme menyuruhku duduk dengan bule itu, "Wis ndang Giz, kancanana bule-ne." Aku menoleh padanya, tersenyum dan sesuai kebiasaan sopan santun orang Hong Kong basa-basi bertanya,"Hi, are you alone? or waiting for someone?"
Dan dengan ramah Si Bule menyilakan aku duduk, dia bilang kursi itu kosong. Tak lupa berterima kasih, lalu aku duduk dengannya. Walau mejaku berdekatan dengan Meme, Teh Imas, Teh Noena dan Lia, aku tetap saja harus menolehkan kepala saat diajak ngobrol. Keasyikan ngobrol, aku lupa makananku. Tiba-tiba pelayan datang dan mengambil mangkok mie-ku yang belum habis ku makan. Aku tertegun tak bisa berkata apa-apa karena merasa aneh. Sesaat setelah aku sadar, sumpit yang aku pegang aku letakkan di meja dan aku berdiri. 
Aku bertanya pada pelayan, "Tim kai lei pun ngo ke wun mien keh? ngo mei sik yun wo." Teman-teman TA dengan sendirinya beraksi, membelaku.
Teh Imas dengan lantang, kembali bertanya,"Goi mei sik yun, tim kai lei pun goi ko wun mien keh? tim kai?". Hanya ada dua pelayan di restaurant itu, satu bertubuh gendut agak muda dan satunya bertubuh kurus, setengah tua. Pelayan tua itulah yang memindahkan mangkokku ke meja lain. Di meja kasir, terlihat dua pelayan itu berargumen, tapi entah apa yang mereka debatkan. 


Sambil menuding-nuding, pelayan tua itu berkata,"Lei em ho yi , jho hai ko to!"
Serentak kami bertanya,"Tim kai?"
"Karena kamu tidak boleh duduk bersama bule itu. Kamu mengganggunya dan kami tidak suka!"
"Mengganggu? dia tidak merasa terganggu, sebelum aku duduk, aku sudah permisi. Dan dengan senang hati dia mempersilakanku!"
Sepertinya Bule itu paham apa yang terjadi, dia ingin memberikan pembelaan, namun kami mengisyaratkan untuk diam saja. Teh Imas hilang kesabaran, lantang dia berkata,"POK KAI! Aku tahu kenapa kalian memperlakukan kami seperti ini, karena kami hanya buruh migran? Kalian pikir kami bodoh dan akan diam saja? tidak akan pernah kami makan di restaurant ini kembali, ini yang terakhir!"
Rasa laparku pun menguap seketika, ku tinggalkan duit di meja, Lia mengambilnya kemudian menuju kasir untuk membayar. Sebelum kami keluar, kami melihat bill-nya. HK$ 261. Lia memegang uang HK$ 270, maka seharusnya kami masih menerima kembalian HK$ 9. Namun, kami diabaikan begitu saja. Terjadi kericuhan lagi, kebetulan restaurant agak ramai. Banyak orang memperhatikan, tapi kami tidak peduli. Tetap berargumen, tapi lama-lama merasa jengah, kami pun keluar tanpa menunggu uang kembalian. Yang penting kami puas melampiaskan kekecewaan kami. Diskriminasi tidak boleh dibiarkan. Hanya ada satu kata LAWAN!!!




Note :
1. Tim kai lei pun ngo ke wun mien keh? ngo mei sik yun ke wo. = Kenapa kamu memindahkankan mangkok mie ku? aku belum selesai makan
2. Lei em ho yi , jho hai ko to! = Kamu tidak boleh duduk di situ!