Search This Blog

07 July 2012

Cerpen berdasarkan kisah nyata seorang BMI-HK berjudul "Sebuah Pilihan"


Sudah lama aku menunggu taksi, tapi tak satu pun taksi lewat. Sial!! Padahal, aku harus segera tiba di rumah majikan baru. Siang tadi Mr Lam melalui telepon berjanji menjemputku di pintu gerbang pukul 8 malam. Ini hari Minggu. Seharusnya banyak yang menggunakan taksi karena lebih nyaman ketimbang berdesakan dalam transportasi umum lain. Tapi, kemana perginya taksi-taksi itu? 

Aku berdiri di pinggir jalan seorang diri dengan travel bag besar di sebelahku, tak kunjung ada taksi lewat. Ketika aku sedang berpikir untuk menggunakan transportasi lain, tiba-tiba ada sebuah taksi. Berharap tak ada penumpang, aku pun menyetopnya. Setengah jam kemudian aku sampai di alamat Mr Lam. 
Aku masih asing dengan tempat ini. Memutarkan pandanganku pada sekeliling dan mencoba menerka-nerka. Aku tersadar dari lamunan dan baru teringat Mr Lam yang mungkin telah lama menunggu. Segera ku hubungi nomer HP yang dia berikan sesaat setelah tanda tangan kontrak di agen 2 pekan lalu.
"Hallo," suara Mr Lam.
"Hallo, Tuan. Ini Mina," jawabku.
"Oh, hai...apakah kamu sudah sampai?" tanyanya.
"Ya, aku sudah berada di bawah apartemen. Bisakah Tuan turun menjemputku karena penjaga gerbang tidak mengizinkan aku masuk?" pintaku kepada Mr Lam.
"Ok, tunggu beberapa menit."
"Baik Tuan." 

Di Hong Kong tidak semua orang bisa mengakses ke dalam sebuah apartemen. Penjagaannya sangat ketat dan di mana-mana kamera CCTV on 24 jam. Jadi, terpaksa aku minta Mr Lam menjemput di bawah apartemennya. Tak lama, Mr Lam datang. Sambil tersenyum, aku minta maaf karena terlambat. Sekilas aku menangkap kesan Mr Lam orang yang ramah. Semoga majikanku kali ini baik hati, doaku. Ini adalah kontrak ketiga ku di Hong Kong. Kali ini aku bekerja di Central District tepatnya di Mid-Levels.

Kami masuk lift yang membawa kami naik ke lantai 25. Keluar dari lift aku mengikuti langkah Mr Lam, menuju pintu bernomor 25 B. "Selamat datang di rumahku Mina." Aku tersenyum saja mengiyakan ucapan lelaki berumur setengah abad ini. Tuanku ini tinggi besar, penuh wibawa, berwajah ramah dan murah senyum. Mr Lam  menunjukkan kamarku dan menjelaskan ala kadarnya lalu meninggalkanku. Tapi sebelum mencapai pintu, dia berbalik dan berkata,"Mina, beritahu aku kalau kamu butuh sesuatu!" 
"Baik, Tuan," jawabku.

Kupandangi kamar ini. Di pojok kamar ada sebuah almari dan di sebelahnya ada meja kecil dengan kursi. Ada pula kamar mandi di dalam. "Ehmm, lumayan," pikirku.
Segera ku bereskan baju-bajuku. Saat memindahkan baju, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Mrs. Lam. Kemanakah dia gerangan? Kenapa dari tadi tak menampakkan diri? Atau dia sedang keluar?
Entahlah, aku merasa aneh. Seribu pertanyaan berkecamuk. Tapi ah, biarlah. Yang penting aku sudah di rumah majikan baru. Kenalan dengan nyonya kan bisa besok pagi. Batinku menepis segala pertanyaan yang ada di kepalaku. Lalu aku bergegas mandi dan setelah itu aku istirahat buat persiapan stamina karena besok adalah hari pertama kerja.

*****
 Pukul 5.30 pagi aku terbangun, bergegas ke kamar mandi. Sambil menunggu majikan bangun, kubuat secangkir kopi. Tak lama Mr Lam bangun, membuka pintu dan berjalan terseok menuju dapur. Dia menyapaku dengan mata masih setengah terpejam.
"Selamat pagi, Mina. Tolong bikinkan aku kopi juga ya."
"Selamat pagi. Baik, Tuan."
Tapi aku tak tahu di mana kopi disimpan. Aku belum tahu benar seluk beluk rumah ini. Ku beranikan diri bertanya pada Mr. Lam. Sebelum berlalu, dia menjawab," Semua kopi dan teh serta minuman instant lainnya ada dalam laci di sebelah kulkas itu." 
Masih setengah bingung aku berusaha mencari yang dimaksud. Akhirnya ku temukan juga. Segera kubuat kopi. 


Tak berapa lama Mr Lam keluar dari kamarnya. Rapi dan siap berangkat ke kantor. Segera ku sajikan kopi pesanannya. Mr Lam tersenyum dan menyuruhku duduk. Aku merasa sungkan bila harus duduk dengannya. Dan tuanku itu menangkap gelagatku.
"Tak apa-apa Mina, duduk saja. Aku ingin berbicara padamu."
"Baik, Tuan."
" Kamu tahu? Aku punya dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki sekolah di Kanada. Dan yang perempuan, masih menginap di rumah neneknya bersama istriku. Nanti malam mereka pulang. Jadi, setelah aku ke kantor, sebaiknya kamu bersihkan rumah. Okey?"

Mr Lam menjelaskan panjang lebar sambil berdiri dari duduknya. Kemudian membawaku keliling ruangan, menjelaskan seluk beluk tentang rumahnya. Rumah dengan luas 1900 square feet ini lumayan gedhe untuk 3 orang dan cukup luas untuk ukuran apartemen di Hong Kong. Ada tiga kamar, satu master room lumayan luas lengkap dengan toilet. Kamar sebelahnya, kamar anak perempuannya yang berumur 13 tahun. Begitu pintu di buka aku tersenyum melihat sekeliling kamar itu. Semua bernuansa pink dengan soft toys di sana sini. Lumayan rapi untuk ukuran anak Hong Kong. Kelihatan dia mandiri. Lalu beralih ke kamar anak laki-lakinya tapi berhubung dia tidak ada, kamar ini beralih fungsi menjadi ruang kerja tuanku. Di rak terjejer rapi buku-buku tebal berbahasa China.
Mr Lam melirik rolex di pergelangannya. Aku pun melirik jam dinding, jam 08.30, tuanku segera pamit. "Mina, i have to go now. See you later. Bye...bye..."
"Yes Sir, See you laterBye..bye..."

Tuan pergi, aku pun segera mengerjakan tugasku membersihkan rumah sebagaimana biasa yang kulakukan di rumah majikan sebelumnya. Di ruang tamu, semua perabotan serba lux terbuat dari kristal. Ku bersihkan semua, sambil sesekali memperhatikan foto-foto yang dipajang. Ku perhatikan foto keluarga ini, ehmm...mungkin ini nyonyaku, gumamku dalam hati, ketika aku melihat seorang wanita gendut berfoto bersama tuan dan anak-anaknya. Ku amati wajahnya, wajah antagonis. Matanya melotot besar karena kaca minus terlalu tebal. Tak ada senyum di sana. Ah, segera ku tepis bayangan tentang nyonya. Semoga saja tidak seperti itu. Aku bersenandung kecil untuk menghalau resah.

Aku berusaha melakukan yang terbaik walau hanya bekerja sebagai pembantu. Aku hanya butuh waktu 3 jam untuk membereskan rumah ini. Setelah selesai, aku bingung mau mengerjakan apalagi. Aku ambil buku-buku yang kubawa dan mulai membaca untuk membunuh waktu. Ketika aku tenggelam dengan bacaan, telepon rumah berdering.
"Hallo..." kataku
"Hallo, Mina. Ini aku Mr. Lam, aku hanya ingin memberitahumu, malam ini kami tidak makan di rumah. Kamu masak buat kamu sendiri ya. Bye-bye..."

Malam yang ku tunggu tiba, tepat jam 8 malam Mr Lam beserta istri dan anaknya pulang. Aku menyapa mereka dengan ramah,"Hallo..."
Tuan tersenyum, nyonya datar saja, Sedangkan anaknya tertawa riang. Anak ini kelihatan senang sekali, seolah dia punya teman baru yang bisa diajak bermain. Aku pun senang dengan sikap dia yang mau menerimaku di rumah ini. Nyonyaku entah mengapa hanya melirikku sekilas tanpa senyum lalu beranjak ke kamar dan tak keluar lagi. Mungkin dia capek, aku menghibur hati.
*****
Waktu terus mengalir tanpa sadar, aku sudah 7 bulan bekerja dengan keluarga Lam. Awalnya semua baik-baik saja. Tapi sebulan belakangan ini hubunganku dengan nyonya retak. Suatu malam sepulang kerja, nyonya menemukan sekelopak bunga anggrek kesayangannya jatuh. Dia marah sekali.
"Lihat ...." ujarnya, sambil menunjuk pada kelopak anggrek yang jatuh.
"Kenapa kelopak bunga ini terjatuh?" tanyanya.
"Maaf, aku tidak tahu nyonya, mungkin sudah layu dan kering." jawabku
"Bagaimana kamu tidak tahu? Kamu di rumah seharian, apa saja yang kamu lakukan?" 
"Ya, aku memang seharian di rumah tapi apakah aku harus  memelototi bunga itu? Bunga layu lalu gugur, itu hal yang biasa kan nyonya?"
Nyonya kelihatan tidak suka dengan argumenku. Dengan tatapan menghujam dan emosi tertahan dia berlalu. Ada apa dengan nyonya hari ini? Mungkin ada masalah yang dia bawa dari kantor, pikirku. Nyonya seorang marriage consultant di gereja. Yang aku dengar, orang yang bekerja sebagai penasehat perkawinan, emosinya cenderung labil. Dia mudah stress dan depresi, karena terlalu banyak kasus yang dihadapi dan perlu pemecahan.

Sejak saat itu hubunganku dengan nyonya kian memburuk. Apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Komunikasiku putus sama sekali dengan nyonya. Kami berkomunikasi lewat tulisan layaknya orang bisu. Bila nyonya ingin aku mengerjakan sesuatu, dia akan menempelkan sebuah kertas pesan di tempat yang dia inginkan, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Suatu hari aku pernah mencoba membangun kembali komunikasi dengan nyonya tapi fatal akibatnya. Dia ngamuk tak karuan sebabnya. Semua yang ada di hadapannya melayang. Aku takut, saat itu tuan tidak ada di rumah. Dia sering bepergian keluar negeri untuk urusan bisnis. Tuan tidak pernah tahu perlakuan nyonya terhadapku. Setiap kali pulang dari luar negeri, tuan akan mendekatiku dan bertanya,"Are you ok?"

Sebenarnya aku sudah lama penasaran, kenapa tuan selalu bertanya demikian. Hingga suatu hari tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang bikin kaget. Inikah jawaban dari ganjalan hatiku? Aku menemukan beberapa kontrak kerja di saat aku membersihkan laci penyimpanan arsip keluarga ini. Aku benar-benar kaget. Ternyata keluarga ini telah 14 kali ganti pembantu dalam 8 tahun. Bagaimana bisa dalam 8 tahun ganti pembantu sampai 14 kali, padahal per kontrak adalah 2 tahun? Kaget, bingung, sedih, takut berbaur menjadi satu. 

Berdebar aku menunggu Mr Lam pulang. Aku harus mengungkap apa yang tersembunyi dalam keluarga ini, tentang kontrak-kontrak itu. Tuan pulang, aku sambut dia seperti biasa. Setelah makan malam, aku mendekati tuan," Maaf Tuan, apakah tuan ada waktu? Aku ingin bicara sesuatu."
"Oh, ya pasti. Apa kamu ada masalah?" 
"Boleh aku tahu, kenapa di keluarga ini seringkali ganti pembantu sebelum habis masa kontrak?" Mr Lam terperanjat kaget. Dia diam sejenak, lalu menatap hampa ke sekeliling ruangan. Namun, akhirnya Mr Lam bercerita bahwa istrinya sering stress berlebihan. Hubungan tuan dan nyonya pun ternyata tak semulus yang tampak di depan mataku selama ini. Mereka juga sudah lama tak berkomunikasi. Tentu saja aku tak menyangka akan hal ini. Sebab di depan saudara-saudaranya, mereka tampak mesra. Tapi semua keluarga dari pihak tuan sudah tahu semua masalah di rumah ini.
"Itulah mengapa mereka tidak betah kerja di sini, tak seorang pun yang bisa mengerti sikap istriku. Bahkan, pada ibuku pun, sikapnya sama seperti pada kalian," lanjut tuan.
"Bagaimana denganmu, Mina? Apakah kamu mau menyelesaikan kontrakmu dengan kami?" tanya tuan kemudian. 
Aku hanya menggelengkan kepala dan mengangkat bahu. Aku sendiri bingung harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menyelesaikan kontrak, sedang aku sangat tersiksa dengan sikap nyonya. Dia selalu mengintimidasi aku, selalu membuatku tak berdaya. 


Akhirnya aku menceritakan semua kejadian selama tuan tak berada di rumah. Tentang perlakuan nyonya yang tidak memanusiakan aku. Tentang bagaimana dia berkomunikasi denganku. Tuan tidak kaget sedikit pun karena dia sudah hafal betul istrinya. Memarahi pembantu tanpa ampun. Aku juga bercerita semua perlawananku pada nyonya. Tuan tak mampu lagi berkata.


 *****
Minggu pagi yang cerah, aku pergi berlibur bersama teman-teman dari kampung halaman. Kami pergi ke Causeway Bay atau juga yang di sebut "Kampung Jawa". Di sana biasa kami melepas penat setelah sepekan bekerja. Seharian aku bersama, makan, tertawa, bercerita tentang keluarga di Indonesia. Tak jarang kami menangis bersama pula. Terasa sekali rasa kekeluargaan di sini. Walau jauh dari keluarga tapi kami berusaha saling berbagi kebahagiaan.

Senja pun datang. Itu artinya kami harus berpisah dan kembali ke rumah masing-masing majikan. Jam 19.00 aku stand by menunggu bis yang menuju jalur rumahku. Setengah jam telah berlalu tapi bis yang ku tunggu selalu penuh. Jengkel aku dibuatnya. Setiap hari minggu bisa dipastikan semua transportasi penuh sesak. Aku mendapat bis setelah satu jam menunggu. Segera aku meloncat masuk berharap bis melaju dengan cepat.
Aku tiba di halte bis di bawah apartemen, 20 menit kemudian. Bergegas aku menuju apartemen. Jam tanganku menunjuk angka 08.05. Aku telat 5 menit. Pelan kubuka pintu. Nyonya ternyata duduk di sofa. Kusapa dia, tapi diam seribu bahasa. Aku pun cuek dan ngeloyor ke kamar. Tapi teriakan "Stop!" menghentikan langkahku. Berputar, kemudian bertanya,"Ya Nyonya, ada yang bisa saya bantu?"
"Kemana saja kamu?" dia balik bertanya, tumben berbicara padaku.
"Nyonya lupa hari ini hari minggu? Tentu aku keluar bersama teman-temanku. Ada masalah Nyonya?" jawabku santai.
"Kenapa kamu terlambat?"
"Terlambat? Oh, maaf. Ya, aku terlambat tapi cuma 5 menit. Apa itu masalah besar bagimu? Bagaimana di hari kerjaku, Nyonya? Kadang aku bekerja sampai jam 2 dini hari, tapi apa pernah aku komplain?"
Aku berargumentasi panjang lebar, nyonya semakin ngamuk, tapi aku tak peduli. Aku tak akan diam kali ini, aku sudah tak tahan. Mr Lam hanya diam, dia tak akan berani membela siapapun. Dia terlalu lemah di hadapan istrinya.

Tiba-tiba nyonya melemparkan sesuatu ke arahku. Refleks aku berkelit. Emosiku pun memuncak. Dengan suara lantang aku berkata,"Dengar Nyonya, aku tak akan tinggal diam kali ini, ini sudah keterlaluan. Kalau Nyonya tidak suka aku bekerja di sini, kenapa tidak berterus terang? Jujur, aku pun sudah tidak tahan dengan semua perlakuanmu. Nyonya pikir aku ini binatang? Kalau Nyonya ingin dihormati, hormatilah orang lain. Atau setidaknya hormati diri sendiri. Aku ini juga manusia Nyonya, sama sepertimu. Aku punya emosi, punya perasaan. Kalau disakiti, aku pun bisa marah. Aku tahu kenapa Nyonya lakukan ini, karena Nyonya pikir aku hanyalah pembantu bodoh. Asal Nyonya tahu, Aku bisa saja melaporkan Nyonya ke Imigrasi Hong Kong untuk mem-black list keluarga ini agar tak bisa mengambil pembantu dari Indonesia, tapi itu tak aku lakukan karena aku masih punya rasa kemanusian. Dan asal nyonya tahu, aku diam selama ini bukan berarti aku bodoh tapi aku hanya menunggu waktu yang tepat dan saat inilah waktunya. Maaf Nyonya, sudah lama aku berpikir untuk memutuskan kontrak kerja ini."

Mr Lam kaget mendengar keputusanku, tapi apa boleh buat aku sudah tak tahan dengan perlakuan istrinya yang keterlaluan. Ibarat aku telah lama menyimpan bisul dan hari ini bisul itu pecah. Terlalu lama batinku tertekan. Mengakhiri masa kontrak sebelum waktunya, ini sudah menjadi keputusabku. Aku  juga tidak melaporkan  kejadian ini pada agen atau pun KJRI HK, toh mereka juga tidak akan berpihak pada buruh migran.


*****
Senin pagi aku sengaja menunggu tuan di ruang tamu untuk menyerahkan surat peringatan satu bulan sebelum pemutusan kontrak kerja. Dengan sedih tuan menerima keputusanku. Hari-hari kulalui dengan berat dan penuh siksaan dari sang Nyonya dan aku hanya bisa menangis. Tapi biarlah dia berbuat semaunya, tinggal sebulan lagi aku bekerja di rumah ini. Terasa waktu berputar pelan sekali. 

Akhirnya hari yang ku nanti tiba, hari kebebasanku. Waktunya aku keluar dari neraka ini.
Segera aku bersiap diri. Detik berlalu berganti menit dan dimenit-menit terakhir inilah aku merasa sedih. Aku teringat segala kebaikan tuan. 

Jam 07.00 tuan bangun kemudian memanggilku untuk menyelesaikan semua tuntutan yang harus dipenuhi. Uang satu bulan gaji, tiket, dan uang transport ke bandara. Setelah beres, tuan berbicara dengan sedih.
"Mina, aku minta maaf atas segala perbuatan istriku."
"Sudahlah Tuan, lupakan saja. Kita saling memaafkan. Tak ada manusia yang sempurna bukan? Maaf Tuan, aku harus pergi."
"Hati-hati Mina."
"Baik, Tuan."
Aku melangkah keluar dari rumah ini. Ku seret travel bag. Baru tiga langkah aku berjalan, tuanmemanggilku. Dengan suara bergetar dia berucap,"Sekali lagi aku minta maaf Mina, Aku berharap ke depannya kamu mendapatkan yang lebih baik."
"Terima kasih Tuan, aku juga minta maaf bila ada salah yang aku sengaja ataupun tidak aku sengaja. Aku pergi, Tuan, bye..bye..." kataku sambil masuk ke dalam lift.
Masih sempat ku dengar Mr Lam membalas ucapan perpisahanku.

Tiba di basement, aku segera mencari bis yang menuju ke bandara. Tak lama kemudian aku sudah berada dalam bis. Ku hempaskan tubuh ini ke kursi. Ku pejamkan mata ini mencoba untuk tidur walau sejenak. Satu jam kemudian bis telah tiba di bandara Chek Lap Kok. Segera aku chek-in. Sebelum aku masuk, sekali lagi kutoleh ke belakang. Yah, aku benar-benar meninggalkan Hong Kong.
"Selamat tinggal Hong Kong. Aku pulangggg...."