Search This Blog

07 August 2012

Kapan Aku Bisa Pulang?

Saat mengantar Doraemon pulang kampung.
Hampir satu jam aku menunggu bus A43 yang akan mengantarku ke bandara Chek Lap Kok.  Sedikit tak sabar menanti, karena aku harus mengejar waktu. Aku ke bandara setelah menerima SMS seorang kawan asal Ponorogo yang akan terbang ke Indonesia kemarin.  Tak ada rencana ke bandara, tetapi karena aku menitipkan sesuatu untuk adikku, maka aku harus ke bandara. Setelah bus tiba, segera aku meloncat naik menuju deck atas. Aku paling suka naik bus dan duduk di deck atas, karena aku bisa melihat dengan jelas pemandangan yang indah sepanjang perjalanan. 

Tak banyak penumpang dari halte bawah rumah tempat di mana aku tinggal. Setelah mendapat tempat duduk yang pas, aku kembali sibuk bermain HP. Suasana masih sepi jadi aku konsentrasi dengan game. Sepuluh menit perjalanan, masuk ke kota lain ternyata begitu banyak penumpang. Dalam sekejab bus telah penuh. Suasana menjadi riuh dengan beraneka ragam bahasa. Bahasa Jawa, Kantonis, Inggris dan Mandarin, campur aduk. Dua orang mbak duduk di deretan kursi sebelah, sedangkan kursi disampingku, diduduki lelaki separuh baya. Konsentrasiku buyar. Ku ambil kamera dan menjepret apa saja yang menarik.

Karena begitu dekat, aku bisa mendengar segala celoteh dua mbak di sebelahku. Betapa riangnya mereka ngobrol berdua. Bercerita tentang segala macam persiapan sebelum pulang, membeli oleh-oleh untuk keluarganya. Membayangkan betapa bahagianya nanti setelah berjumpa dengan keluarganya. Begitu bahagianya bisa merayakan lebaran di rumah dengan orang-orang tercinta. Sungguh, mereka terlihat begitu bahagia. Tiba-tiba ada perasaan iri menyeruak dalam dada. Ah, kenapa aku tidak bisa seperti mereka?...
Aku memalingkan muka, memandang keluar, berharap bisa membuat perasaanku baik-baik saja. Mendengarkan musik dengan volume sedang dan berdoa semoga tak mendengar pembicaraan dua mbak itu. Namun, usahaku sia-sia. Lagu sendu yang mendayu-dayu menambah pilu hatiku. Tak terasa mengalir butiran bening di sudut mataku. Dengan gusar kuusap buliran itu sebelum orang lain tahu. Terlambat! Lelaki di sebelahku telah memergokinya. Tak kusangka dia bertanya,"Are you OK?" Aku hanya membalas sapaannya dengan senyum getir. Aku benci dengan keadaan seperti ini.

Selama perjalanan ke bandara, perasaanku jadi kacau. Bus ber-AC pun tak mampu membuatku nyaman. Entahlah, apa yang ku rasakan saat itu. Anganku melayang ke Indonesia. Membayangkan seandainya aku pulang, pasti mereka pun menyambutku dengan riang. Wajah-wajah yang ku rindu bermunculan. Hatiku menjadi riuh dengan seribu tanya. Aku menuju bandara, tapi bukan untuk pulang. Lalu, untuk apa aku kesana? Kenapa bukan aku yang pulang sendiri saja? Ah....

Satu jam kemudian aku telah sampai di bandara. Segera aku menelpon temanku dan mencarinya. Setelah bertemu, ku serahkan bingkisan padanya. Masih ada waktu 45 menit sebelum dia check-in. Aku duduk di ruang tunggu dan ngobrol dengan mbak buruh migran yang lain. Perasaan yang tadi menyerangku sewaktu di bus kembali hadir. Duh, Ya Allah....aku pengen nangis lagi yang kenceng. Aku berusaha sebisa mungkin menahan air mataku untuk tidak berhamburan keluar. Iseng ku goda mereka," Gimana nih perasaannya yang mau ketemu loukong (suami)? Pasti bahagia ya? ketemu keluarga, anak, orangtua, kawan dan saudara."
"Owalah mbak, aku sik ketar ketir perkara barangku iki, isa mlebu apa ora ya? mengko nek wis nek njera pesawat baru mikir bojo," salah seorang dari mereka menimpali godaanku.
Mbak BMI yang menunggu waktu terbang.
"Aku ki mau wis over 9 kilo, kenek 300 dolar. Tapi ga papa lah, sing penting aku isa ketemu keluarga, aku wis ayem," sahut yang lainnya.

Saat kami asyik becanda, datang staff Cathay Pasific, memberitahu sebentar lagi harus check in bagi yang mau terbang. Semua disuruh siap-siap. Mbak-mbak pun mengemasi barang bawaannya. Kami berpelukan dan mengucapkan selamat jalan. Begitu kawanku check-in, hatiku kembali sepi. Seakan separuh jiwaku dibawa terbang temanku. Duhhh, kapan aku bisa pulang?