Search This Blog

01 July 2012

# 1 # Siapa Bilang Jadi TKW Itu Enak? (Tidur Dengan Anjing)

Banyak orang beranggapan, bahwa menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu enak. Khususnya bekerja di Hong Kong. Mereka selalu melihat secara kasat mata apa yang tampak saja. Tetapi tak banyak yang tahu atau tidak mau tahu, bagaimana proses untuk menjadi TKW itu sendiri. Kalau dibilang enak ya enak, dibilang susah ya susah. Jadi menurut pengalaman pribadiku selama menjadi TKW di beberapa negara, memang ada susah dan senangnya. 


Belakangan ini di Hong Kong, ramai membicarakan sebuah kasus yang menimpa Buruh Migran Indonesia (BMI), yang bekerja pada sebuah keluarga kaya (menurut info : keluarga seorang artis). Rumah/apartement dengan seluas 1800 square feet, tentu bukan sebuah rumah/apartement yang sempit jika dibandingkan dengan apartement majikanku saat ini, yang hanya seluas 650 square feet. Tetapi, BMI tersebut tidak mendapat fasilitas yang layak. Dia tidur di atas ranjang sempit yang ada di atas toilet. Bahkan, ada juga BMI yang tidur di lantai toilet. Aku tidak bisa membayangkan ketika musim dingin tiba. Betapa tersiksanya menghalau rasa dingin yang menusuk tulang.
Tempat tidur seorang BMI-HK di lantai toilet di sebuah rumah mewah.

Aku tidak sedang bercerita tentang kisah kedua kawan BMI kawan kita ini, karena aku belum mendapat info yang lebih jelas tentang kasus tersebut. Di sini aku ingin berbagi cerita tentang pengalaman pribadi. Dulu, di kontrak pertama aku pernah tidur sekamar dengan anjing. Ketika menandatangani kontrak, tidak disebutkan ada hewan peliharaan di rumah majikan. Sampai aku terbang ke Hong Kong dan dijemput majikan, aku baru tahu. Itu pun saat ada dalam mobil, majikan menanyai aku," Yani, kamu takut anjing?" Serta merta aku jawab,"iya!"


Sampai di rumah, kami baru saja keluar dari lift dan belum membuka pintu tetapi sudah disambut gonggongan anjing yang membuatku semakin ciut nyali. Begitu masuk, Nyonya memanggil hewan kesayangannya dan "memperkenalkan" padaku. Nyonya mengendong kemudian menciumi anjing yang bukan berjenis anjing rumahan/pudel itu. Tentu aku merasa jijik melihat pemandangan yang tak biasa tersebut. Dua anjing itu bernama Ken dan Miu. Sepasang anjing jantan dan betina.


Dengan bahasa kantonis pas-pasan yang kupelajari di penampungan waktu itu, aku beranikan diri bertanya pada nyonya. Kenapa dalam kontrak tidak mencantumkan ada hewan peliharaan. Tentu aku bisa membatalkan kontrak, jika itu tak sesuai denganku. Tetapi setelah aku sampai di negara tujuan, aku tak bisa seenaknya membatalkan kontrak. Karena membatalkan kontrak sama saja "bunuh diri" karena terjerat utang pada perusahaan finansial yang bekerja sama dengan agen. Dan tentu aku akan dikejar-kejar rentenir, bagaikan seorang buronan, kalau aku tidak menyelesaikan cicilan utang, selama 7 bulan potongan gaji sebesar HK$ 3000 tersebut. Nyonya tak berkata apa-apa, tetapi dia berjanji akan merawat anjingnya sendiri karena dengan tegas aku menolak merawatnya. Tugas utamaku yang tertera di kontrak adalah merawat balita usia 2 tahun. Jadi aku tidak mau terbebani oleh 2 ekor anjing itu, selain karena merasa takut/jijik. Penolakanku bisa dibilang berani mengingat aku baru saja tiba di rumah majikan. Karena hal itu jarang dilakukan BMI baru sepertiku. Satu point kemenangan.


Kemenangan yang kugenggam, bukan berarti aku bisa berbuat sakpenak udhelku dhewe. Dalam Villa majikanku, ada kamar khusus pembantu lengkap dengan kamar mandi (jauhkan dari bayangan sebuah kamar yang nyaman). Di kamar itu, bukan hanya aku yang menempati, tetapi dua ekor anjing itu pun ada di dalamnya. Aku tidur di atas (bukan ranjang susun) dan kedua anjing itu ada di bawahku. Semula aku takut, tapi lama-lama kau terbiasa juga. Sangat tidak nyaman, "tidur" dengan mereka. Baunya membuatku ingin muntah, belum lagi kalau mereka usil. Kadang dini hari, aku terbangun karena ulah mereka. Dua ekor anjing itu kadang memakan kotorannya sendiri kemudian memuntahkannya kembali. Bisa dibayangkan seperti apa. Dengan mata terpejam, tubuh capek pun aku harus membersihkan kamarku demi kenyamanan "bersama". Jujur saja, aku selalu mengumpat kesal.


Majikanku memperlakukan 2 ekor anjing melebihi perlakuannya padaku. Aku sempat berpikir,"kok bisa ya, anjing lebih istimewa daripada seorang pembantu." Aku akui, walau bagaimana pun, majikanku memperlakukanku baik meskipun tak seistimewa anjingnya. Nasibku masih beruntung bila dibanding dengan kawan-kawan yang lain, hingga aku bisa menyelesaikan kontrak selama 2 tahun. Kondisi kerja di Hong Kong tak selalu enak seperti apa yang dibayangkan orang selama ini. Melihat senyum BMI HK di Victoria Park saat hari minggu, sepertinya senyuman itu hanya senyum semu belaka. Seakan hanya "nylimur" untuk melupakan beban sejenak. Maka, tak heran jika ada yang bilang jadi BMI itu enak. Padahal masih banyak BMI-HK yang tertindas, digaji underpay, diperlakukan tidak manusiawi dan sebagainya.


Aku hanya ingin mematahkan pandangan orang, bahwa bekerja atau menjadi TKW itu enak. Untuk menjadi TKW, butuh perjuangan keras.  Soal enak atau tidak semua tergantung nasib dan hanya sawang sinawang saja. Di manapun bekerja, pasti ada enak dan tidaknya. Jadi, siapa bilang jadi TKW itu enak? Siapaaaaaaaaaaaaaaa??

6 comments:

blogsafuwaneka said...

mantep banget tulisannya...sebenernya nasibmu bagus mbak yu brow, cuman sayang Indonesia masih asik dengan wacana politik 5 tuhunan. itu artinya konsepsi jangka pendek..saat ini saya juga belum tau konsep jangka panjangnya negara kita untuk merumuskan kekayaan alam yang ada. saya juga tidak tau apakah hasil SDA yang ada cuman hanya pengakuan saja, karena pengolahan SDA, pemerintah hanya mendapatkan bagian lebih dari 50 persen, sementara hasilnya untuk para pemodal..satu hal lagi yang menjadi pertanyaan pemerintahan kita "maksud dan tujuan negara dan bangsa kita" mau diarahkan kemana.? mudah mudahan jaya terus buat mbak yuu brooww, sukses..

Yany Wijaya Kusuma said...

Menurut sejarah, Indonesia itu negeri kaya raya. Tapi kekayaan itu kini mulai terkikis oleh nafsu bejat para pejabat demi kepentingan pribadi. Sehingga kemiskinan ada di mana-mana. Sukses juga buatmu mas bro..

Rie Rie said...

uenaakkk kok, lha wis 7 tahun wae durung bali,. wkwkwkk...

Anonymous said...

Waaahh...saya mencari pembantu yg mantan TKW sulitnya luar biasa, permintaannya banyak, maunya di apatemen, sering pulang, dsb.

Yany Wijaya Kusuma said...

Kalau keluarganya dekat kenapa keberatan mengijinkan pulang? toh mereka tidak bekerja 24 jam kan? Wajar kalau mantan TKW banyak permintaan, karena saya pikir skill dan experience mereka berbeda dengan pekerja lokal. Mereka terbiasa bekerja dengan kedisiplinan tingkat tinggi yang mungkin susah diterapkan di Indonesia. Di Hong Kong saja banyak yang stay out, apalagi di negeri sendiri. Tentu mereka merasa nyaman bila bisa berkumpul dengan keluarga setelah bekerja. Sama halnya dengan anda kan? setelah kerja pulang ke rumah. So, what's the matter?

Unknown said...

Saya jadi bisa belajar dari cerita yang dituliskan Mbak. Belajar untuk mengerti bagaimana penderitaan yang dialami oleh saudara kita. Walaupun saya tidak pernah mengalami sendiri bagaimana hal itu terjadi. Tapi saya tetap berdoa semoga ke depannya pemerintah Indonesia ini tidak lagi asal mengirimkan TKW atau TKI sebagai PRT, seperti yang pernah dialami Mbak Yani. Kalaupun ada yang ingin bekerja di luar negeri, semoga saja mereka akan bekerja sebagai bosnya.